apapun yang bisa author tulis untuk readers.

Tuesday, September 20, 2016

Elise : Half Clown


ELISE

Half Clown

by Gita Ardeny
(Repost From My Previous Blog)

http://www.zerochan.net/1994513
(source : zerochan)



“Hey, Elise! Tahu tidak kalau hari ini aku...” dan bla bla bla seterusnya. Itu yang selalu kudengar setiap hari, tanpa terkecuali. Seolah aku hanya ada untuk menjadi pendengar setiamu dengan kau yang enggan melakukan hal yang sama. Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku bahkan sudah muak dengan semua yang kalian lakukan. Aku hanya ingin sendiri.
            “Kumohon enyahlah. Tinggalkan aku sendiri.” Pintaku dalam hati.
            Tapi permohonan seperti itu adalah hal yang sia-sia. Mereka tidak akan membiarkanku sendiri, sekeras apapun aku mencoba. Seolah seisi dunia tengah bersekongkol untuk tidak membiarkanku mendapatkan sedikitpun ketenangan yang kubutuhkan.
...
            Ketika jam pelajaran telah usai, kuputuskan untuk pergi mengelilingi sekolah tanpa tujuan. Sebenarnya ingin sekali aku membeli sesuatu di kantin, tapi aku tidak memiliki uang untuk itu. Sehingga, mau tidak mau, aku hanya bisa berjalan melewatinya.
            Tanpa kusadari, aku sudah berjalan sampai ke koridor sekolah. Disana ada sebuah papan pengumuman yang terdapat banyak sekali poster dan beberapa informasi penting yang ditempelkan guru. Sejujurnya aku tak pernah tertarik untuk berhenti, sampai aku memandang secarik poster berukuran A3 dengan tulisan “JOIN US!” yang cukup besar, yang letaknya di tengah sebelum judul poster.
Sekilas mata memandang, gambar poster itu tampak berwarna-warni. Spontan saja aku langsung penasaran apakah konten di dalamnya semenarik gambar yang mereka pasang.
            Melihat ke satu sudut rasanya tak cukup. Aku mulai mengedarkan pandanganku dari satu sudut itu ke sudut yang lain sambil mencerna setiap kata yang tertera apik di sana.
“Olimpiade Bahasa Inggris, hm?” gumamku. Baru kali ini aku melihat ada olimpiade semacam ini. Kukira orang-orang lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dibanding bahasa.
Ketika sedang mengamati, “Hey, Elise!” sapa seseorang yang mendadak muncul entah darimana. Orang itu adalah Mary, seseorang dari masa lalu yang terus melekat bahkan kini merangkap menjadi teman sebangku. “Apa ini, lomba Bahasa Inggris?” tanyanya begitu antusias.
Lihat bagaimana dunia berjalan dengan aneh. Mary selalu muncul secara tiba-tiba ketika aku sedang mengamati sesuatu, membuat perjalananku menjauhi segala bentuk yang mengingatkanku pada betapa menyebalkannya dunia menjadi sirna sudah. Kadang kupikir akan lebih menyenangkan kalau dia hanya sebuah bayangan, tetap diam tanpa perlu kuperhatikan.
“Ya, sebenarnya aku ingin mengikutinya. Siapa tahu ternyata aku lebih mampu dalam bidang ini dibanding ilmu pengetahuan yang lain. Eksak maksudku. Bagaimana denganmu?” Balasku.
“Oh, tentu aku akan ikut!” serunya yang belum kehilangan rasa antusias. “Aku tidak tahu, tapi kurasa lomba seperti ini pasti lebih menantang. Lagipula olimpiade seperti ini masih tergolong langka, kan? Pasti peluangnya sangat besar!”
Tiga kata terakhir itu sempat membuatku tertegun. Peluang ya? Kenapa selalu peluang yang ada di kepalamu?
Bukannya aku menyalahkan pikiran seperti itu, aku juga tidak menyalahkan apapun yang menunjukkan keberadaan kata itu –peluang. Hanya saja kadang menyebalkan harus mendengar orang membicarakan setiap inci kehidupan yang bahkan belum dimulai.
 Aku menghela nafas.
“Bangunlah, Elise. Siapa yang kau bodohi?” batinku, memaki diri sendiri. “Itu semua hal yang manusiawi. Bahkan normal bagi seorang remaja untuk menjadi seperti itu. Dimana seperti yang kutahu, tidak dariku atau hidupku yang memiliki satu kata itu –normal.”
Tanpa menunggu lebih lama, aku memutar badanku lalu melenggang pergi tanpa alasan.
“Kau mau kemana?” tanya Mary.
Berhenti mengikutiku, urus urusanmu sendiri! Andai aku bisa mengatakan itu. “Entahlah. Mungkin ke perpustakaan? Gedung olahraga? Aku tidak tahu. Aku hanya sedang ingin jalan-jalan.” balasku ragu.
Kenapa masih mengikutiku? Pergilah ke tempat lain, aku hanya ingin sendiri dan hanya seorang diri untuk saat ini.
Terlambat. Semua kata yang tertahan di kerongkongan itu harus tertelan kembali begitu pertunjukan dimulai. “Elise, tahu tidak kalau di rumah tadi sebelum berangkat tiba-tiba aku bertemu...” Lebih tepatnya sebuah cerita.
Kalau boleh, aku ingin menyumbat telingaku. Bukannya aku keberatan mendengar kisah hidup Mary yang nyaris setiap detik ia kisahkan ibarat dongeng klasik, aku hanya lelah menjadi bukti keberadaan kisah tersebut.
Ah, tidak. Kurasa bukan itu. Kurasa aku hanya lelah menanti giliranku.
“Elise, kau jangan marah!”
“A-apa? Kenapa?” kataku sedikit kaget.
“Tidak, aku hanya berpikir wajahmu barusan serius sekali.”
“Oh, maaf. Barusan aku mencoba mengingat sesuatu, rasanya seperti ada hal yang terlupa.”
“Haah.. kau ini.” Gumamnya. “Aku benci ketika kau melakukan itu, membuatku kaget saja.”
Begitu ya? Itu lucu. Kalau kau benci, harusnya kau pergi saja.
...
Keadaanku di rumah tidak jauh berbeda, malah jauh lebih buruk. Namun meski begitu, aku tetap lebih suka disini –di rumah. Sebab dengan begitu aku bisa mengunci diri.
“Ibu, Ayah, aku pulang! Hari ini di sekolah sangat melelahkan.” Ucapku.
Tak ada respon, tak ada suara. Hanya ruangan kosong dengan kesenyapan yang merajalela. Sepertinya mereka belum pulang. Aku ingin tahu kapan mereka akan sampai ke rumah, walau aku tidak berharap mereka benar-benar pulang.
“Mm-hm, tidak buruk.” Gumamku.
Aku berjalan menuju ruang pengasinganku –kamar. Tapi sesaat setelah membuka pintu kamar, entah kenapa aku merasa ruang sempit itu terasa berbeda.
“Halo penjaraku, aku siap mengurung diri.” Gumamku sekali lagi.
Ruangan sempit itu mendadak terasa semakin sempit, padahal di dalam tak ada begitu banyak barang. Hanya ada almari kayu coklat dengan ukiran bunga di sudut ruangan, dan meja belajar putih di baratnya, dimana di atas meja itu terdapat cermin genggam berukuran sedang. Aku jarang menggunakannya, terus terang aku jarang bercermin. Sebab cermin itu memperlihatkan bayangan diriku yang tampak begitu menyedihkan, dan aku benci meihatnya.
Suasana sepi nan damai ini kumanfaatkan untuk tidur, melepas semua beban yang menggelayuti tubuh. Namun sebelum itu, tak lupa aku menyumbat telingaku dengan headset, kemudian memutar MP3 hingga tertidur.
“Tuhan, biarkan aku terlelap.” Pintaku.
Baru saja aku singgah ke dunia mimpiku, tiba-tiba suara keras pintu yang seperti didobrak membangunkanku. Itu pasti ibu. Batinku.
“Aku akan menyambutnya.”
“Hai, Ibu. Kau sudah pulang?” ucapku setelah membuka pintu kamar.
“Kau lagi. Pergi ke kamar dan jangan menggangguku!”
“Baik, Bu. Panggil aku jika kau butuh.” Kataku kemudian sambil menutup pintu.
Tak lama setelahnya, dobrakan pintu kedua terdengar. Itu pasti ayah. Semua hal tentang mereka rasanya seperti menghafal rumus di luar kepala. Dobrakan pertama, kedua, hening sesaat, hentakan-hentakan penuh tenaga dan amarah, kemudian...
“Pertunjukan dimulai.” Ucapku pelan.
Ayah dan ibu bertengkar lagi. Mereka selalu bertengkar, setiap saat, setiap waktu, seolah tidak akan pernah berhenti. Ada banyak hal yang mereka pertengkarkan. Terlalu banyak hingga aku sendiri tidak mengingatnya.
Kadangkala semua pertengkaran itu membuatku heran. Tidakkah mereka sadar bahwa aku ada di sini, mendengar semua yang mereka pertengkarkan, menjadi saksi bisu atas segala pertikaian. Sejujurnya jika mau, mereka bisa pergi, bercerai atau apalah. Jika aku yang diminta pergi, maka dengan senang hati aku tidak akan menginjakkan kakiku lagi di rumah ini.
“Kenapa aku harus ditawan disini?” desahku pelan.
Aku tidak keberatan berpura-pura buta, tuli, dan bisu. Tapi sampai kapan? Aku sudah lelah. Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku lelah menjadi saksi bisu atas semua yang orang-orang lakukan. Semua itu membuatku lelah, lelah untuk berpura-pura tidak ada, lelah untuk marah, lelah untuk tersenyum, lelah untuk menangis, bahkan untuk sekedar mengatakan “aku lelah” pun membuatku lelah. Sungguh, aku sudah sangat lelah.
Sebagai pelarianku dari kenyataan, aku selalu pergi mengunjungi khayalanku. Aku menulis semua cerita tentangnya, berharap suatu saat ia akan menjadi duniaku. Entah bagaimana aku bisa terjebak dalam ilusi konyol semacam ini. Sedikit berharap tak ada salahnya, kan? Toh, ini membuatku jadi lebih baik.
Menyedihkan.
...
Di sekolah,
            Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menganggap dunia ini tidak adil.
            “Maaf Nak, kuota untuk sekolah kita sudah terpenuhi.” Jelas Ibu Guru.
            “Oh begitu, baiklah, terimakasih.”
            Satu hal yang kupikir bisa mengubah sedikit saja bagian dari hidupku telah hilang sepenuhnya. Tidakkah ini seperti pukulan telak? Aku gagal sebelum aku sempat memulai.
            Tuhan, katakan padaku kalau aku tidak gagal. Tolong katakan bahwa di luar sana masih ada banyak kesempatan. Katakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kumohon katakan itu, atau apapun, kumohon katakan sesuatu. Setidaknya itu akan menghiburku.
            Aku menggambar senyum di jariku. Berpura-pura kalau itu Elsie, salah satu tokoh dalam duniaku yang lain –khayalanku. Dialah yang menjadi penghiburku sejauh ini, atau mungkin satu-satunya teman yang kumiliki dan kubutuhkan saat ini.
            “Jangan khawatir, Elise. Aku akan menemanimu selalu, dimanapun, kapanpun, tak perlu kau khawatir. Semua yang baik akan datang pada waktunya, begitu pula dengan kesempatan. Selalu ada kesempatan di hari lain, walau tidak sepenuhnya sama.” Kata Elsie yang mencoba menghiburku dengan suara lembutnya.
            Sebut aku gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
            “Elise! Hey, Elise! Aku sudah mencarimu kemana-mana.” panggil Mary dari arah belakang. “Tebak apa, aku sudah mendaftar olimpiade yang kemarin..” lalu bla bla bla, seperti itu lagi.
            “Bagus untukmu.”
            “Oh ya, aku juga mendaftarkan Caroline.” Ucapnya tenang.
            Apa?! “C-Caroline?” balasku.
            “Ya, Caroline. Agak menyebalkan sih kalau dia ikut. Tapi Ibu Guru bilang kuotanya tersisa satu lagi setelah aku mendaftar. Kupikir daripada kuotanya tidak penuh, kuajak saja Caroline. Sebenarnya ia tidak begitu tertarik sih. Tapi kurasa dia...”
            “Begitu..”
            “Ya. Toh biaya pendaftaran ditanggung sekolah. Benar-benar ikut atau tidak ya terserah dia. Aku tidak peduli.” Jelasnya dengan air muka yang begitu tenang namun menyebalkan di saat yang bersamaan. “Nah, akui saja aku memang hebat dan sangat pandai membujuk orang. Hehehe.”
            Kau... satu dari sekian banyak siswa disini, kau lebih memilih mendaftarkan Caroline yang tidak begitu tertarik. Dari sekian banyak alasan yang bisa kau pilih, kau memilih mendaftarkannya karena ingin memenuhi kuota?
            Aku mengerti. Bagaimanapun kau adalah kau, dan bodohnya aku untuk sempat berpikir hal sebaliknya.
            Jantungku mulai berdegup kencang. Rupanya apa yang terbesit di pikiran tidak sama dengan apa yang singgah di hati. Rasanya seperti ada sesuatu yang sedang mengganjal di dada. Aku tidak tahu apa, dan aku ingin menyembunyikan semuanya. Ya, semuanya, dengan tersenyum. Berpura-pura menjadi seperti gila, atau orang gila yang berusaha menjadi seperti orang normal. Yang manapun itu.
            Awalnya hanya sebuah senyum, lalu menjadi tawa kecil, hingga mendadak aku mulai terkekeh. Mary yang berada di sampingku spontan saja terkejut.
            “Elise, k-kenapa kau ini?”
            Oh, aku tertawa?
            “Lucu. Ah, tidak, maksudku...” aku mencoba menghela nafas panjang untuk menghentikan tawaku. “Maafkan aku. Tadi aku tertawa karena mendadak ingat adegan film komedi yang kutonton kemarin malam. Maaf, aku membuatmu takut ya?” jelasku seenaknya.
            “Pfiuh, dasar kau! Kalau aku jantungan bagaimana coba?!” dengus Mary.
            “Baiklah, baik.” Kataku mengiyakan. “Uhm, jadi, aku pulang dulu ya. Sampai nanti!”
...
            Elise...
            “Elsie, kaukah itu?”
            Kenapa kau melarikan diri lagi?
            “Apa maksudmu, aku tidak melarikan diri. Aku hanya menyadari tempatku kemudian pergi.”
            Pembohong
            “Oh, jadi kau mengataiku pembohong?”
            Sudahi semua kebohongan ini, Elise!
            “Baiklah, aku seorang pembohong. Lalu kenapa?”
Kau pantas mendapat yang lebih baik.
“Apa? Mendapatkan apa? Apa yang pantas kudapatkan? Aku hanya seorang pembohong, Elsie! Pembohong yang kini menjadi seorang badut. Karena sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain tersenyum dan tertawa. Aku sudah lupa bagaimana rasanya menangis, marah, dan semuanya. Aku hanya bisa tertawa! Tertawa! Seperti sekarang, tertawa! Tertawalah, akan kuperlihatkan banyak hal lucu. Tertawa, ayo tertawa! Tertawalah bersamaku, Elsie!”
            Itu tidak lucu, Elise.
            “Hm, kau benar. Kalau begitu aku harus lebih banyak tertawa supaya kau ikut tertawa.”
            Elise, dengarkan aku, semuanya pasti baik-baik saja. Hentikan, oke?
            “Elsie, aku punya cerita lucu tentang seorang gadis yang ingin tinggal bersama khayalannya. Tapi gadis itu bodoh sekali. Ia lupa kalau di dunia khayalan tidak sepenuhnya berbeda. Lagipula dia terlalu bodoh untuk jadi khayalan. Gadis itu bernama Elise. Oh, tunggu, itu namaku! Ternyata gadis bodoh itu adalah aku. Hahaha... tidakkah itu lucu? Aku gadis bodoh yang bercerita tentang gadis bodoh yang ternyata gadis bodoh itu adalah si gadis bodoh itu sendiri. Hahahaha...”
            Elise hentikan!
            “Maaf aku tidak bisa berhenti. Semua ini terlalu lucu.”
            Elise sadarlah!
            Elise hentikan!
            Elise!
            Elise!
            Erh...
            “Elise, cepat bangun! Kau harus membuatkan sarapan, apa kau sudah lupa?!” bentak Ibu.
            Ternyata tadi itu hanya mimpi. Padahal akhirnya aku bisa berbicara banyak dengan Elsie. Dengannya yang terlihat seperti manusia sungguhan. Tidak seperti mereka. Apa aku benar, Elsie?
            Aku menganggukkan kepala, kemudian tersenyum tanpa kusadari.
Tiba-tiba, Plak!
            Ibu menamparku dengan kerasnya. Darah? Hm, sepertinya akan meninggalkan bekas.
            “Jangan melamun! Ayo cepat bangun dan pergi ke dapur sana!” perintah ibu yang kemudian berbalik memunggungiku.
            Aku menghela nafas panjang. Dengan senyum seperti biasa, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada ibuku. “Ibu, kenapa kau membenciku?”
            Ibu tak pernah melihatku dengan tatapan senang, aku ingin tahu kenapa. Aku juga tidak tahu kenapa ibu selalu bertengkar dengan ayah, kenapa keduanya jarang pulang, kenapa keduanya terlihat berbeda, kenapa keduanya semakin lama terlihat semakin asing, bahkan aku tidak tahu kenapa aku dibenci. Aku ingin tahu.
            Ibu mengernyitkan dahinya, sedikit iba ia memandangku. Mungkin untuk pertama kalinya ia mau membuka hatinya sedikit untukku?
            Sayangnya aku salah. “Sudah cukup! Tutup mulutmu! Aku benci pembicaraan yang tidak bermutu seperti itu.” Bentaknya.
            “Bu, kalau aku tidak cukup baik untukmu, kenapa tak kau buang saja aku?” gumamku pelan.
            “Apa? Kau mengatakan sesuatu?!”
            “Tidak bu, aku hanya bergumam. Aku menyayangimu bu, ayah juga.” Jawabku, tersenyum.
            “Sudahlah, cepat ke dapur dan buatkan sarapan!”
            “Hahaha, iya ibu.” Jawabku lagi sambil tersenyum.
            Ibu sempat memandangiku sinis sebelum meninggalkanku. Dunia yang aneh. Tuhan, apa aku kurang berusaha? Sepertinya semua tidak kunjung membaik.
...
            Selesai menghidangkan makanan, aku berdiri di antara tempat duduk ayah dan ibu. “Ibu, aku... umm, apa boleh aku...”
            “Sudah, pergi saja!” Sela ibu. “Kemarin sudah kuberi uang yang banyak!”
            “I-iya, kau benar. Hehehe.” Balasku. Padahal bukan itu yang kumaksud. Aku hanya ingin tahu apa aku diperkenankan untuk makan bersama mereka.
            “Hey, ayah. Menurutmu apa aku...”
            “Aku tidak peduli. Aku sedang tidak membutuhkanmu. Ambil uang ini dan pergilah main dengan teman-temanmu. Jangan pulang sebelum waktunya makan malam!” ucapnya dengan nada penuh kebencian.
            Tidak apa-apa, mereka sedang lelah. Pekerjaan mereka sangat banyak, sehingga menguras banyak stamina mereka. Sebaiknya aku tidak mengganggu waktu bersantai mereka. Pikirku, menghibur diri.
            “Terimakasih, Ayah, Ibu, aku pergi dulu.”
...
            Aku berjalan gontai menuju mini-market langgananku yang letaknya di seberang sungai. Itu artinya aku harus melewati jembatan yang ada di depanku. Ugh, sepertinya badanku semakin lemas saja. Kuharap aku tidak tiba-tiba pingsan di jalan.
            Sebenarnya, aku memang belum makan apapun sejak dua hari lalu, selain dua mie instant. Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku terlalu sering makan mie. Sudahlah, kenapa memikirkan itu sekarang. Lagipula aku tidak punya waktu untuk jadi pemilih. Makan mie dan yang lainnya, apa bedanya? Yang penting masih bisa makan.
            Selain itu, persediaan makanan di rumah tidak selalu cukup untuk kami bertiga. Jadi untuk lebih menghemat, kuputuskan untuk mengurangi, bahkan mengganti jatahku sendiri dengan mie. Tak hanya itu, mereka berdua tidak selalu berada di rumah, lebih seperti singgah untuk makan atau sekedar tidur semalam. Kepergian dan kepulangan mereka tidak pernah pasti. Itu sebabnya aku tidak memiliki banyak uang.
            Mini-market yang sedang kutuju itu sebenarnya juga tempatku bekerja paruh waktu. Tapi begitu ayah mengetahuinya, terpaksa aku harus berhenti. Katanya tidak pantas orang ceroboh sepertiku bekerja sambilan. Hanya bisa membuat repot orang saja. Apa yang kulakukan hanya akan membuat malu nama keluarga.
            “Elsie, aku lelah. Sepertinya kakiku mulai mati rasa.”
            Bertahanlah, Elise! Jangan khawatir, perjalanan menuju mini-market tidak sepanjang itu. Kau pasti bisa.
            “Tidak, Elsie. Aku terlalu lemas untuk berjalan. Biarkan aku istirahat. Istirahat sejenak.”
            Jangan! Aku takut kau malah akan jatuh. Begini saja, kalau sudah sampai, ayo kita beli sesuatu yang enak. Sesuatu selain mie instant. Ah, aku tahu, bagaimana kalau es krim?
            “Baiklah, terserah kau saja.”
            Kuharap seperti apa yang kau harapkan, Elsie. Tapi perasaanku mengatakan hal yang lain. Mungkin, hanya mungkin, aku tidak akan sampai ke tempat manapun.
            Di saat seperti inilah aku ingin sekali mengutuk diri sendiri. Aku benci ketika aku benar.
            Dari arah belakang, seseorang yang tidak kukenal dengan mengendarai motor mencuri tasku. Aku sempat melawan, tapi ia menarik tasku dengan paksa. Membuat fisikku yang lemah ini mulai goyah, kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya aku terpental jatuh ke sungai yang kebetulan alirannya cukup deras.
            Beruntung sesuatu sempat menahanku masuk ke air. Membuat sebagian tubuhku masih terapung sampai kemudian arus mulai membawaku pergi. Dengan tubuh lemah seperti ini, aku bahkan tidak mempunyai cukup tenaga untuk menepi.
            Elise!
            Elise!
            Aku merasa ada seseorang yang memanggilku. Siapa itu? Apa itu suara ibu? Bukan. Tentu saja itu juga bukan suara ayah. Namun sepertinya suara itu hanya ada di kepalaku. Itu dia, aku tahu, itu pasti Elsie.
            “Jangan khawatirkan aku, Elsie. Aku akan baik-baik saja, seperti katamu. Tenanglah.”
            Tapi kau bisa mati!
            Mati? Oh aku lupa soal itu.
            “Apa kau lupa kalau sejak awal aku tidak pernah dianggap ada. Aku tidak pernah ada. Seseorang dengan nama yang semua orang melupakannya. Seseorang yang bahkan ayah dan ibunya membenci keberadaannya.”
            Elise!
            Kau bahkan hanya sebuah khayalan, Elsie. Khayalan dari diriku yang menyedihkan ini. Meski begitu, entah kenapa aku merasa cukup bahagia. Kau sudah mengisi kekosongan hidupku dengan suatu cara. Tapi, apakah kau lupa kalau kosong dan hampa itu berbeda? Kekosongan akan penuh ketika kau mengisinya dengan sesuatu, tapi tidak dengan kehampaan. Tidak ada yang bisa kau lakukan di ruangan hampa. Jikapun ada, baik kau ataupun aku mungkin tidak tahu apa itu.
            “Hey, kalau aku bisa ke duniamu, ayo kita main?”
            Aku memandang sosok khayalanku, Elsie, di atas jembatan. Setelah kupikir-pikir, sosoknya hampir menyerupaiku. Untuk beberapa saat, aku merasa mungkin akulah sang khayalan. Aku tahu itu terdengar aneh, tapi entahlah. Otakku sudah tak dapat berpikir jernih. Sosok Elsie semakin lama semakin kabur dan menjauh.
            Tidak, kesadaranku mulai menghilang.
            Tubuhku terus hanyut mengikuti kemana arus sungai kecil ini mengalir. Meski begitu, aku masih saja tersenyum dan tertawa seolah tidak terjadi apa-apa.
            Ah, itu benar...
            Sebut aku gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
...

            Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi. Entahlah, aku sudah mulai lelah. Jadi biarlah aku memejamkan mata, membiarkan arus ini membawaku pergi, hilang dari muka bumi.
...




0 komentar:

Post a Comment

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Popular Posts

Quotes Of The Day

Don't Forget To Be Grateful

Mind to Visit?

My Alternate: http://walk-path.blogspot.com/ Friends: http://a-story-to-read.blogspot.com/ http://13thheavenlyparadise.wordpress.com/

About

I'm just an ordinary person who happened to love writting. And here as what the description blog says (although you cannot see it unless you block it) I'll write anything I could regardless whether or not it is important. So, I'll be happy if it can entertain you or perhaps becoming useful for some sort, well somehow and I'm sorry if it couldn't brighten your day. Nevertheless, I also want to thank you for visiting this blog. Thank you very much!


Copyright © From Authors To Readers | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com