ELISE
Half Clown
by Gita Ardeny(Repost From My Previous Blog)
(source : zerochan)
“Hey, Elise! Tahu tidak kalau hari ini aku...” dan bla bla
bla seterusnya. Itu yang selalu kudengar setiap hari, tanpa terkecuali. Seolah
aku hanya ada untuk menjadi pendengar setiamu dengan kau yang enggan melakukan
hal yang sama. Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku
bahkan sudah muak dengan semua yang kalian lakukan. Aku hanya ingin sendiri.
“Kumohon
enyahlah. Tinggalkan aku sendiri.” Pintaku dalam hati.
Tapi
permohonan seperti itu adalah hal yang sia-sia. Mereka tidak akan membiarkanku
sendiri, sekeras apapun aku mencoba. Seolah seisi dunia tengah bersekongkol
untuk tidak membiarkanku mendapatkan sedikitpun ketenangan yang kubutuhkan.
...
Ketika jam
pelajaran telah usai, kuputuskan untuk pergi mengelilingi sekolah tanpa tujuan.
Sebenarnya ingin sekali aku membeli sesuatu di kantin, tapi aku tidak memiliki
uang untuk itu. Sehingga, mau tidak mau, aku hanya bisa berjalan melewatinya.
Tanpa
kusadari, aku sudah berjalan sampai ke koridor sekolah. Disana ada sebuah papan
pengumuman yang terdapat banyak sekali poster dan beberapa informasi penting
yang ditempelkan guru. Sejujurnya aku tak pernah tertarik untuk berhenti,
sampai aku memandang secarik poster berukuran A3 dengan tulisan “JOIN US!” yang cukup besar, yang
letaknya di tengah sebelum judul poster.
Sekilas mata memandang, gambar poster
itu tampak berwarna-warni. Spontan saja aku langsung penasaran apakah konten di
dalamnya semenarik gambar yang mereka pasang.
Melihat ke
satu sudut rasanya tak cukup. Aku mulai mengedarkan pandanganku dari satu sudut
itu ke sudut yang lain sambil mencerna setiap kata yang tertera apik di sana.
“Olimpiade Bahasa Inggris, hm?”
gumamku. Baru kali ini aku melihat ada olimpiade semacam ini. Kukira
orang-orang lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dibanding bahasa.
Ketika sedang mengamati, “Hey,
Elise!” sapa seseorang yang mendadak muncul entah darimana. Orang itu adalah
Mary, seseorang dari masa lalu yang terus melekat bahkan kini merangkap menjadi
teman sebangku. “Apa ini, lomba Bahasa Inggris?” tanyanya begitu antusias.
Lihat bagaimana dunia berjalan dengan
aneh. Mary selalu muncul secara tiba-tiba ketika aku sedang mengamati sesuatu,
membuat perjalananku menjauhi segala bentuk yang mengingatkanku pada betapa
menyebalkannya dunia menjadi sirna sudah. Kadang kupikir akan lebih
menyenangkan kalau dia hanya sebuah bayangan, tetap diam tanpa perlu
kuperhatikan.
“Ya, sebenarnya aku ingin
mengikutinya. Siapa tahu ternyata aku lebih mampu dalam bidang ini dibanding
ilmu pengetahuan yang lain. Eksak maksudku. Bagaimana denganmu?” Balasku.
“Oh, tentu aku akan ikut!” serunya
yang belum kehilangan rasa antusias. “Aku tidak tahu, tapi kurasa lomba seperti
ini pasti lebih menantang. Lagipula olimpiade seperti ini masih tergolong
langka, kan? Pasti peluangnya sangat besar!”
Tiga kata terakhir itu sempat
membuatku tertegun. Peluang ya? Kenapa selalu peluang yang ada di kepalamu?
Bukannya aku menyalahkan pikiran
seperti itu, aku juga tidak menyalahkan apapun yang menunjukkan keberadaan kata
itu –peluang. Hanya saja kadang menyebalkan harus mendengar orang membicarakan
setiap inci kehidupan yang bahkan belum dimulai.
Aku menghela nafas.
“Bangunlah, Elise. Siapa yang kau
bodohi?” batinku, memaki diri sendiri. “Itu semua hal yang manusiawi. Bahkan normal
bagi seorang remaja untuk menjadi seperti itu. Dimana seperti yang kutahu,
tidak dariku atau hidupku yang memiliki satu kata itu –normal.”
Tanpa menunggu lebih lama, aku
memutar badanku lalu melenggang pergi tanpa alasan.
“Kau mau kemana?” tanya Mary.
Berhenti mengikutiku, urus urusanmu
sendiri! Andai aku bisa mengatakan itu. “Entahlah. Mungkin ke perpustakaan?
Gedung olahraga? Aku tidak tahu. Aku hanya sedang ingin jalan-jalan.” balasku
ragu.
Kenapa masih mengikutiku? Pergilah ke
tempat lain, aku hanya ingin sendiri dan hanya seorang diri untuk saat ini.
Terlambat. Semua kata yang tertahan
di kerongkongan itu harus tertelan kembali begitu pertunjukan dimulai. “Elise,
tahu tidak kalau di rumah tadi sebelum berangkat tiba-tiba aku bertemu...”
Lebih tepatnya sebuah cerita.
Kalau boleh, aku ingin menyumbat
telingaku. Bukannya aku keberatan mendengar kisah hidup Mary yang nyaris setiap
detik ia kisahkan ibarat dongeng klasik, aku hanya lelah menjadi bukti
keberadaan kisah tersebut.
Ah, tidak. Kurasa bukan itu. Kurasa
aku hanya lelah menanti giliranku.
“Elise, kau jangan marah!”
“A-apa? Kenapa?” kataku sedikit
kaget.
“Tidak, aku hanya berpikir wajahmu
barusan serius sekali.”
“Oh, maaf. Barusan aku mencoba
mengingat sesuatu, rasanya seperti ada hal yang terlupa.”
“Haah.. kau ini.” Gumamnya. “Aku
benci ketika kau melakukan itu, membuatku kaget saja.”
Begitu ya? Itu lucu. Kalau kau benci,
harusnya kau pergi saja.
...
Keadaanku di rumah tidak jauh
berbeda, malah jauh lebih buruk. Namun meski begitu, aku tetap lebih suka
disini –di rumah. Sebab dengan begitu aku bisa mengunci diri.
“Ibu, Ayah, aku pulang! Hari ini di
sekolah sangat melelahkan.” Ucapku.
Tak ada respon, tak ada suara. Hanya
ruangan kosong dengan kesenyapan yang merajalela. Sepertinya mereka belum
pulang. Aku ingin tahu kapan mereka akan sampai ke rumah, walau aku tidak
berharap mereka benar-benar pulang.
“Mm-hm, tidak buruk.” Gumamku.
Aku berjalan menuju ruang
pengasinganku –kamar. Tapi sesaat setelah membuka pintu kamar, entah kenapa aku
merasa ruang sempit itu terasa berbeda.
“Halo penjaraku, aku siap mengurung
diri.” Gumamku sekali lagi.
Ruangan sempit itu mendadak terasa
semakin sempit, padahal di dalam tak ada begitu banyak barang. Hanya ada almari
kayu coklat dengan ukiran bunga di sudut ruangan, dan meja belajar putih di
baratnya, dimana di atas meja itu terdapat cermin genggam berukuran sedang. Aku
jarang menggunakannya, terus terang aku jarang bercermin. Sebab cermin itu
memperlihatkan bayangan diriku yang tampak begitu menyedihkan, dan aku benci
meihatnya.
Suasana sepi nan damai ini
kumanfaatkan untuk tidur, melepas semua beban yang menggelayuti tubuh. Namun
sebelum itu, tak lupa aku menyumbat telingaku dengan headset, kemudian memutar
MP3 hingga tertidur.
“Tuhan, biarkan aku terlelap.”
Pintaku.
Baru saja aku singgah ke dunia
mimpiku, tiba-tiba suara keras pintu yang seperti didobrak membangunkanku. Itu
pasti ibu. Batinku.
“Aku akan menyambutnya.”
“Hai, Ibu. Kau sudah pulang?” ucapku
setelah membuka pintu kamar.
“Kau lagi. Pergi ke kamar dan jangan
menggangguku!”
“Baik, Bu. Panggil aku jika kau
butuh.” Kataku kemudian sambil menutup pintu.
Tak lama setelahnya, dobrakan pintu
kedua terdengar. Itu pasti ayah. Semua hal tentang mereka rasanya seperti menghafal
rumus di luar kepala. Dobrakan pertama, kedua, hening sesaat, hentakan-hentakan
penuh tenaga dan amarah, kemudian...
“Pertunjukan dimulai.” Ucapku pelan.
Ayah dan ibu bertengkar lagi. Mereka
selalu bertengkar, setiap saat, setiap waktu, seolah tidak akan pernah
berhenti. Ada banyak hal yang mereka pertengkarkan. Terlalu banyak hingga aku
sendiri tidak mengingatnya.
Kadangkala semua pertengkaran itu
membuatku heran. Tidakkah mereka sadar bahwa aku ada di sini, mendengar semua
yang mereka pertengkarkan, menjadi saksi bisu atas segala pertikaian.
Sejujurnya jika mau, mereka bisa pergi, bercerai atau apalah. Jika aku yang
diminta pergi, maka dengan senang hati aku tidak akan menginjakkan kakiku lagi
di rumah ini.
“Kenapa aku harus ditawan disini?”
desahku pelan.
Aku tidak keberatan berpura-pura
buta, tuli, dan bisu. Tapi sampai kapan? Aku sudah lelah. Aku lelah menjadi
penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku lelah menjadi saksi bisu atas semua
yang orang-orang lakukan. Semua itu membuatku lelah, lelah untuk berpura-pura
tidak ada, lelah untuk marah, lelah untuk tersenyum, lelah untuk menangis,
bahkan untuk sekedar mengatakan “aku lelah” pun membuatku lelah. Sungguh, aku
sudah sangat lelah.
Sebagai pelarianku dari kenyataan,
aku selalu pergi mengunjungi khayalanku. Aku menulis semua cerita tentangnya,
berharap suatu saat ia akan menjadi duniaku. Entah bagaimana aku bisa terjebak
dalam ilusi konyol semacam ini. Sedikit berharap tak ada salahnya, kan? Toh,
ini membuatku jadi lebih baik.
Menyedihkan.
...
Di sekolah,
Untuk
pertama kalinya setelah sekian lama, aku menganggap dunia ini tidak adil.
“Maaf Nak,
kuota untuk sekolah kita sudah terpenuhi.” Jelas Ibu Guru.
“Oh begitu,
baiklah, terimakasih.”
Satu hal
yang kupikir bisa mengubah sedikit saja bagian dari hidupku telah hilang
sepenuhnya. Tidakkah ini seperti pukulan telak? Aku gagal sebelum aku sempat
memulai.
Tuhan,
katakan padaku kalau aku tidak gagal. Tolong katakan bahwa di luar sana masih
ada banyak kesempatan. Katakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kumohon katakan
itu, atau apapun, kumohon katakan sesuatu. Setidaknya itu akan menghiburku.
Aku
menggambar senyum di jariku. Berpura-pura kalau itu Elsie, salah satu tokoh
dalam duniaku yang lain –khayalanku. Dialah yang menjadi penghiburku sejauh
ini, atau mungkin satu-satunya teman yang kumiliki dan kubutuhkan saat ini.
“Jangan khawatir, Elise. Aku akan menemanimu
selalu, dimanapun, kapanpun, tak perlu kau khawatir. Semua yang baik akan
datang pada waktunya, begitu pula dengan kesempatan. Selalu ada kesempatan di
hari lain, walau tidak sepenuhnya sama.” Kata Elsie yang mencoba
menghiburku dengan suara lembutnya.
Sebut aku
gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
“Elise! Hey, Elise! Aku sudah
mencarimu kemana-mana.” panggil Mary dari arah belakang. “Tebak apa, aku sudah
mendaftar olimpiade yang kemarin..” lalu bla bla bla, seperti itu lagi.
“Bagus untukmu.”
“Oh ya, aku juga mendaftarkan
Caroline.” Ucapnya tenang.
Apa?! “C-Caroline?” balasku.
“Ya,
Caroline. Agak menyebalkan sih kalau dia ikut. Tapi Ibu Guru bilang kuotanya
tersisa satu lagi setelah aku mendaftar. Kupikir daripada kuotanya tidak penuh,
kuajak saja Caroline. Sebenarnya ia tidak begitu tertarik sih. Tapi kurasa
dia...”
“Begitu..”
“Ya. Toh
biaya pendaftaran ditanggung sekolah. Benar-benar ikut atau tidak ya terserah
dia. Aku tidak peduli.” Jelasnya dengan air muka yang begitu tenang namun
menyebalkan di saat yang bersamaan. “Nah, akui saja aku memang hebat dan sangat
pandai membujuk orang. Hehehe.”
Kau... satu
dari sekian banyak siswa disini, kau lebih memilih mendaftarkan Caroline yang
tidak begitu tertarik. Dari sekian banyak alasan yang bisa kau pilih, kau
memilih mendaftarkannya karena ingin memenuhi kuota?
Aku mengerti.
Bagaimanapun kau adalah kau, dan bodohnya aku untuk sempat berpikir hal
sebaliknya.
Jantungku
mulai berdegup kencang. Rupanya apa yang terbesit di pikiran tidak sama dengan
apa yang singgah di hati. Rasanya seperti ada sesuatu yang sedang mengganjal di
dada. Aku tidak tahu apa, dan aku ingin menyembunyikan semuanya. Ya, semuanya,
dengan tersenyum. Berpura-pura menjadi seperti gila, atau orang gila yang
berusaha menjadi seperti orang normal. Yang manapun itu.
Awalnya
hanya sebuah senyum, lalu menjadi tawa kecil, hingga mendadak aku mulai terkekeh.
Mary yang berada di sampingku spontan saja terkejut.
“Elise,
k-kenapa kau ini?”
Oh, aku
tertawa?
“Lucu. Ah,
tidak, maksudku...” aku mencoba menghela nafas panjang untuk menghentikan
tawaku. “Maafkan aku. Tadi aku tertawa karena mendadak ingat adegan film komedi
yang kutonton kemarin malam. Maaf, aku membuatmu takut ya?” jelasku seenaknya.
“Pfiuh,
dasar kau! Kalau aku jantungan bagaimana coba?!” dengus Mary.
“Baiklah,
baik.” Kataku mengiyakan. “Uhm, jadi, aku pulang dulu ya. Sampai nanti!”
...
Elise...
“Elsie, kaukah itu?”
Kenapa kau melarikan diri lagi?
“Apa maksudmu, aku tidak melarikan diri. Aku hanya menyadari tempatku
kemudian pergi.”
Pembohong
“Oh, jadi
kau mengataiku pembohong?”
Sudahi semua kebohongan ini, Elise!
“Baiklah,
aku seorang pembohong. Lalu kenapa?”
Kau pantas mendapat yang lebih baik.
“Apa? Mendapatkan apa? Apa yang
pantas kudapatkan? Aku hanya seorang pembohong, Elsie! Pembohong yang kini
menjadi seorang badut. Karena sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan
selain tersenyum dan tertawa. Aku sudah lupa bagaimana rasanya menangis, marah,
dan semuanya. Aku hanya bisa tertawa! Tertawa! Seperti sekarang, tertawa!
Tertawalah, akan kuperlihatkan banyak hal lucu. Tertawa, ayo tertawa!
Tertawalah bersamaku, Elsie!”
Itu tidak lucu, Elise.
“Hm, kau
benar. Kalau begitu aku harus lebih banyak tertawa supaya kau ikut tertawa.”
Elise, dengarkan aku, semuanya pasti
baik-baik saja. Hentikan, oke?
“Elsie, aku
punya cerita lucu tentang seorang gadis yang ingin tinggal bersama khayalannya.
Tapi gadis itu bodoh sekali. Ia lupa kalau di dunia khayalan tidak sepenuhnya
berbeda. Lagipula dia terlalu bodoh untuk jadi khayalan. Gadis itu bernama
Elise. Oh, tunggu, itu namaku! Ternyata gadis bodoh itu adalah aku. Hahaha...
tidakkah itu lucu? Aku gadis bodoh yang bercerita tentang gadis bodoh yang
ternyata gadis bodoh itu adalah si gadis bodoh itu sendiri. Hahahaha...”
Elise hentikan!
“Maaf aku
tidak bisa berhenti. Semua ini terlalu lucu.”
Elise sadarlah!
Elise hentikan!
Elise!
Elise!
Erh...
“Elise,
cepat bangun! Kau harus membuatkan sarapan, apa kau sudah lupa?!” bentak Ibu.
Ternyata
tadi itu hanya mimpi. Padahal akhirnya aku bisa berbicara banyak dengan Elsie.
Dengannya yang terlihat seperti manusia sungguhan. Tidak seperti mereka. Apa
aku benar, Elsie?
Aku
menganggukkan kepala, kemudian tersenyum tanpa kusadari.
Tiba-tiba, Plak!
Ibu
menamparku dengan kerasnya. Darah? Hm, sepertinya akan meninggalkan bekas.
“Jangan
melamun! Ayo cepat bangun dan pergi ke dapur sana!” perintah ibu yang kemudian
berbalik memunggungiku.
Aku menghela
nafas panjang. Dengan senyum seperti biasa, aku memberanikan diri untuk
bertanya kepada ibuku. “Ibu, kenapa kau membenciku?”
Ibu tak
pernah melihatku dengan tatapan senang, aku ingin tahu kenapa. Aku juga tidak
tahu kenapa ibu selalu bertengkar dengan ayah, kenapa keduanya jarang pulang,
kenapa keduanya terlihat berbeda, kenapa keduanya semakin lama terlihat semakin
asing, bahkan aku tidak tahu kenapa aku dibenci. Aku ingin tahu.
Ibu mengernyitkan
dahinya, sedikit iba ia memandangku. Mungkin untuk pertama kalinya ia mau
membuka hatinya sedikit untukku?
Sayangnya
aku salah. “Sudah cukup! Tutup mulutmu! Aku benci pembicaraan yang tidak
bermutu seperti itu.” Bentaknya.
“Bu, kalau
aku tidak cukup baik untukmu, kenapa tak kau buang saja aku?” gumamku pelan.
“Apa? Kau
mengatakan sesuatu?!”
“Tidak bu,
aku hanya bergumam. Aku menyayangimu bu, ayah juga.” Jawabku, tersenyum.
“Sudahlah,
cepat ke dapur dan buatkan sarapan!”
“Hahaha, iya
ibu.” Jawabku lagi sambil tersenyum.
Ibu sempat
memandangiku sinis sebelum meninggalkanku. Dunia yang aneh. Tuhan, apa aku
kurang berusaha? Sepertinya semua tidak kunjung membaik.
...
Selesai
menghidangkan makanan, aku berdiri di antara tempat duduk ayah dan ibu. “Ibu,
aku... umm, apa boleh aku...”
“Sudah,
pergi saja!” Sela ibu. “Kemarin sudah kuberi uang yang banyak!”
“I-iya, kau
benar. Hehehe.” Balasku. Padahal bukan itu yang kumaksud. Aku hanya ingin tahu
apa aku diperkenankan untuk makan bersama mereka.
“Hey, ayah.
Menurutmu apa aku...”
“Aku tidak
peduli. Aku sedang tidak membutuhkanmu. Ambil uang ini dan pergilah main dengan
teman-temanmu. Jangan pulang sebelum waktunya makan malam!” ucapnya dengan nada
penuh kebencian.
Tidak
apa-apa, mereka sedang lelah. Pekerjaan mereka sangat banyak, sehingga menguras
banyak stamina mereka. Sebaiknya aku tidak mengganggu waktu bersantai mereka.
Pikirku, menghibur diri.
“Terimakasih,
Ayah, Ibu, aku pergi dulu.”
...
Aku berjalan
gontai menuju mini-market langgananku yang letaknya di seberang sungai. Itu
artinya aku harus melewati jembatan yang ada di depanku. Ugh, sepertinya
badanku semakin lemas saja. Kuharap aku tidak tiba-tiba pingsan di jalan.
Sebenarnya,
aku memang belum makan apapun sejak dua hari lalu, selain dua mie instant. Setelah kupikir-pikir,
sepertinya aku terlalu sering makan mie. Sudahlah, kenapa memikirkan itu
sekarang. Lagipula aku tidak punya waktu untuk jadi pemilih. Makan mie dan yang
lainnya, apa bedanya? Yang penting masih bisa makan.
Selain itu,
persediaan makanan di rumah tidak selalu cukup untuk kami bertiga. Jadi untuk
lebih menghemat, kuputuskan untuk mengurangi, bahkan mengganti jatahku sendiri
dengan mie. Tak hanya itu, mereka berdua tidak selalu berada di rumah, lebih
seperti singgah untuk makan atau sekedar tidur semalam. Kepergian dan
kepulangan mereka tidak pernah pasti. Itu sebabnya aku tidak memiliki banyak
uang.
Mini-market
yang sedang kutuju itu sebenarnya juga tempatku bekerja paruh waktu. Tapi
begitu ayah mengetahuinya, terpaksa aku harus berhenti. Katanya tidak pantas
orang ceroboh sepertiku bekerja sambilan. Hanya bisa membuat repot orang saja.
Apa yang kulakukan hanya akan membuat malu nama keluarga.
“Elsie, aku
lelah. Sepertinya kakiku mulai mati rasa.”
Bertahanlah, Elise! Jangan khawatir,
perjalanan menuju mini-market tidak sepanjang itu. Kau pasti bisa.
“Tidak, Elsie. Aku terlalu lemas untuk berjalan. Biarkan aku istirahat.
Istirahat sejenak.”
Jangan! Aku takut kau malah akan jatuh.
Begini saja, kalau sudah sampai, ayo kita beli sesuatu yang enak. Sesuatu
selain mie instant. Ah, aku tahu, bagaimana kalau es krim?
“Baiklah,
terserah kau saja.”
Kuharap
seperti apa yang kau harapkan, Elsie. Tapi perasaanku mengatakan hal yang lain.
Mungkin, hanya mungkin, aku tidak akan sampai ke tempat manapun.
Di saat
seperti inilah aku ingin sekali mengutuk diri sendiri. Aku benci ketika aku
benar.
Dari arah
belakang, seseorang yang tidak kukenal dengan mengendarai motor mencuri tasku.
Aku sempat melawan, tapi ia menarik tasku dengan paksa. Membuat fisikku yang
lemah ini mulai goyah, kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya aku terpental
jatuh ke sungai yang kebetulan alirannya cukup deras.
Beruntung
sesuatu sempat menahanku masuk ke air. Membuat sebagian tubuhku masih terapung
sampai kemudian arus mulai membawaku pergi. Dengan tubuh lemah seperti ini, aku
bahkan tidak mempunyai cukup tenaga untuk menepi.
Elise!
Elise!
Aku merasa ada seseorang yang memanggilku. Siapa itu? Apa itu suara ibu?
Bukan. Tentu saja itu juga bukan suara ayah. Namun sepertinya suara itu hanya
ada di kepalaku. Itu dia, aku tahu, itu pasti Elsie.
“Jangan
khawatirkan aku, Elsie. Aku akan baik-baik saja, seperti katamu. Tenanglah.”
Tapi kau bisa mati!
Mati? Oh aku
lupa soal itu.
“Apa kau
lupa kalau sejak awal aku tidak pernah dianggap ada. Aku tidak pernah ada.
Seseorang dengan nama yang semua orang melupakannya. Seseorang yang bahkan ayah
dan ibunya membenci keberadaannya.”
Elise!
Kau bahkan
hanya sebuah khayalan, Elsie. Khayalan dari diriku yang menyedihkan ini. Meski
begitu, entah kenapa aku merasa cukup bahagia. Kau sudah mengisi kekosongan
hidupku dengan suatu cara. Tapi, apakah kau lupa kalau kosong dan hampa itu
berbeda? Kekosongan akan penuh ketika kau mengisinya dengan sesuatu, tapi tidak
dengan kehampaan. Tidak ada yang bisa kau lakukan di ruangan hampa. Jikapun
ada, baik kau ataupun aku mungkin tidak tahu apa itu.
“Hey, kalau
aku bisa ke duniamu, ayo kita main?”
Aku
memandang sosok khayalanku, Elsie, di atas jembatan. Setelah kupikir-pikir,
sosoknya hampir menyerupaiku. Untuk beberapa saat, aku merasa mungkin akulah
sang khayalan. Aku tahu itu terdengar aneh, tapi entahlah. Otakku sudah tak
dapat berpikir jernih. Sosok Elsie semakin lama semakin kabur dan menjauh.
Tidak,
kesadaranku mulai menghilang.
Tubuhku
terus hanyut mengikuti kemana arus sungai kecil ini mengalir. Meski begitu, aku
masih saja tersenyum dan tertawa seolah tidak terjadi apa-apa.
Ah, itu
benar...
Sebut aku
gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
...
Aku tidak
tahu lagi apa yang akan terjadi. Entahlah, aku sudah mulai lelah. Jadi biarlah
aku memejamkan mata, membiarkan arus ini membawaku pergi, hilang dari muka
bumi.
...
0 komentar:
Post a Comment