STARGAZER
Between Two Stars
by Gita Ardeny
Parte 1
(source : zerochan)
Aku hanya bayangan
yang sedang melihat dua bintang saling berpendar.
Tidak lebih.
...
“Anne, aku akan pergi ke Amerika.” Ucapku sambil berayun pelan. “Kurasa
bulan ini aku akan berangkat.”
“Kau bersungguh-sungguh?”
Aku hanya mengangguk.
Anne menghentikan ayunannya, begitu pula denganku. Kami saling bertukar
pandang untuk beberapa waktu. “Ada apa dengan keputusan yang begitu mendadak
ini? Kenapa kau ingin meninggalkan Inggris?” tanyanya mencari kepastian.
Aku hanya diam sesaat. Sebenarnya bukan maksudku untuk meninggalkan
tempat yang kucintai, orang-orang yang kusayangi, atau Anne yang sudah menjadi
teman baikku sejak kecil. Tapi aku harus. Tempat ini tidak memberiku pilihan
lain selain pergi... jauh... sangat jauh... lebih jauh.
“Jangan salah paham.”
Aku mengangkat sebelah
alisku.
“Aku tak masalah kau pergi. Kuharap kau baik-baik saja disana nanti.”
Sambungnya setengah kecewa.
Mendengar itu, spontan aku beranjak dari tempatku. “Suatu hari aku akan
kembali Anne, aku tidak akan melupakanmu. Lagipula disini kampung halamanku.”
Ucapku.
Anne tersenyum. “Kau sudah kuanggap seperti saudariku sendiri.” Ucapnya.
“Kau juga sudah seperti keluarga bagiku, Anne.”
Sebuah senyum dan tawa kecil pun hinggap di bibirnya. “Haha, ya, ya.. aku
akan merindukan sang adik kecil yang tidak tahu apa-apa. Berjanjilah untuk
tetap menjadi Shannon yang kukenal.”
Ia melingkarkan tangannya ke arahku, memeluk erat seolah itu akan
menjadi pertemuan terakhir kami. Walau, perpisahan sesungguhnya belum dimulai. Masih beberapa minggu lagi, dan kuharap itu cukup untuk menorehkan
beberapa kenangan indah sebelum aku pergi.
“Sudah cukup, Anne.” Aku menyeka air yang mulai menyembul dari sudut
mataku. “Kau ini hobi membuat orang sentimentil.”
Anne terkekeh.
“Siapa tahu kau akan mengurungkan niatmu pergi ke negeri yang aku tak
mengerti kenapa banyak orang bermimpi kesana.”
“Haha, dasar licik.” Ejekku. “Serindu itukah kau seandainya aku pergi?”
Gadis itu memutar matanya, “Tidak.” Jawabnya sambil mengangkat bahu. “Tapi
aku mau menunjukkanmu sesuatu.” Sambungnya.
Anne menarikku ke arah angin berhembus, mengambil beberapa batu dan rumput
sembari kami berjalan. Kemudian berhenti tepat di bawah pohon.
“Kenapa kau bawa batu dan rumput?” tanyaku tak habis pikir.
“Ini perumpamaan untukmu..” Jawab Anne.
Ia menaruh batu dan
rumput itu di tanganku.
“Ooho.. Aku mengerti, Anne berubah menjadi bijak ketika aku pergi.”
Anne terkekeh. “Ssh,
diamlah. Aku memang bijak, kau saja yang tidak tahu.”
“Sombong sekali.” Ledekku, tapi kali ini dia hanya diam.
"Sekarang pegang ini sambil jongkok." titahnya.
Aku tidak tahu apa yang direncanakannya, untuk sementara aku hanya akan mengikuti permintaannya.
Dia memandang ke arah pohon untuk beberapa lama, memberi jeda yang cukup
lama untukku mulai bertanya-tanya. Aku tahu Anne, dia sedang memikirkan sesuatu dan dia tidak yakin ingin menceritakannya padaku. Itu adalah kebiasaan buruknya yang paling tidak kusuka, membuatku penasaran dan memikirkan skenario terburuk. Dimana skenario terburuk yang
bisa kubayangkan adalah...
“Shannon...” panggilnya membuyarkan lamunanku.
“Apa?” jawabku sambil menggerak-gerakkan kakiku yang mulai kesemutan. “Oh
ya, Anne, boleh kutahu sampai kapan kau ingin aku jongkok disini? Lebih lama lagi dan aku bisa disangka orang gila.”
“Haha, maaf.” Ucapnya tanpa dosa.
Anne kemudian berdiri
mengulurkan tangannya.
“Aku tidak bisa meraih tanganmu, tanganku memegang batu dan rumput.”
“Jadi kau lebih memilih jongkok?”
“Baiklah, aku berdiri.” Kataku.
Begitu berdiri, sekali lagi Anne memandang kosong. Namun, kali ini ia
memandang ke arah batu yang kupegang.
“Anne, berhenti melakukan itu atau kau akan kutimpuk dengan batu ini.”
Dengusku tak habis pikir.
“Diamlah, aku sedang bernostalgia.”
Huh?
“Baiklah, sekarang dengarkan aku Shannon.”
Anne memegang kedua tanganku. “Dunia ini luas, lebih luas dari yang
pernah kau bayangkan tapi sempit di saat yang bersamaan. Kau mungkin berniat menjamah
seluruh permukaan bumi, seolah ada banyak yang akan kau temukan untuk pertama
kali. Tapi seiring waktu kau akan sadar bahwa bukan perjalanan yang membuatmu
besar. Tapi tujuanmu. Tujuan yang akan membawamu menemui rintangan.”
Ia mengangkat tangan kananku, yang memegang batu. “Kau tahu batu itu
keras, ia kuat, tapi sekali ia retak, maka ia akan hancur. Maka jangan menjadi
batu.” Lalu Anne membuang batu itu dari tanganku.
Kemudian ia mengangkat tanganku satunya. “Bisa dibilang rumput adalah
makhluk hidup paling persisten. Cabut satu akarnya dan dia akan tumbuh lagi,
mungkin berlipat, mungkin lain tempat. Tapi kau tahu, tak banyak yang
mengetahui arti dari sebuah rumput. Hanya yang memiliki kepentingan dengannya
yang akan mencarinya, membutuhkannya, setelah itu..” Anne mengangkat bahunya
sembari membuang rumput yang kupegang.
Aku mengernyitkan dahiku. “Jadi maksudmu...?”
“Aku yakin kau mengerti maksudku.” Ucapnya sambil tersenyum. Kemudian
dia menarik tanganku, dan menempelkannya pada pohon. “Jadilah seperti pohon.”
“Pohon?” tanyaku.
“Ya, pohon. Berdiri kokoh tak peduli bagaimana angin mencoba
menghempaskanmu, menjadi tempat bagi mereka yang mencari ketenangan, dan kau
tahu apa yang paling mengesankan dari sebatang pohon?”
Aku mengangkat bahuku. “Entahlah, mungkin dia tidak membalas perlakuan
apapun yang ditimpakan pada dirinya?”
Anne menggeleng.
“Mungkin, tapi bukan.” Jawabnya.
“Lalu?”
“Dia bermanfaat bagi siapapun, apapun, kapanpun sampai akhir hayatnya.”
Oh, aku mengerti.
“Darimana kau belajar hal semacam ini?” tanyaku.
Ia mengangkat bahunya sambil membuat ekspresi tidak meyakinkan. “Kenapa
memangnya?” tanyanya balik.
“Tak apa.” Kataku. Tidakkah lucu kalau seseorang yang kau kenal suka
bercanda, tiba-tiba berfilosofi ria hanya di saat ia mengetahui bahwa keduanya
akan berpisah?
"Aku tahu kau penasaran, tapi aku tidak akan memberitahumu. Cukuplah kau ingat kalau itu quotes yang kau dengar dari seorang Anne." ucapnya tanpa dosa.
Aku tertawa. Entah dia belajar dari siapa. Kalaupun itu murni dari dirinya sendiri, maka entah apa yang sedang menjangkit kepalanya saat ini. Tapi meski begitu, kuakui itu nasehat yang bagus.
“Hey, Shannn...” panggilnya.
“Hmm?”
“Ayo kita makan, aku lapar.”
Aku menoleh ke arah jam tanganku, masih pukul 10. Apa tidak terlalu awal
untuk makan siang sekarang?
“Tampaknya berfilosofi ria berhasil menguras tenagamu.” Sindirku.
“Haha, lucu, Shann. Aku berusaha menasehatimu, asal kau tahu.” Katanya
kemudian membalikkan punggungnya ke arahku. “Aku mau pergi ke restoran Paman
James, kau ikut tidak?”
Aku hanya berdiri
diam.
“Terserah kau mau ikut atau tidak, yang penting aku mau mencari makan.
Aku sudah sangat kelaparan.” Imbuhnya.
Entah kenapa aku terkekeh. “Bisa-bisanya kau berubah begitu cepat hanya
karena lapar.”
“Haha, sudahlah, jangan bahas. Kau ikut tidak?”
“Baiklah.” Sahutku, menyusul Anne yang sudah berada beberapa langkah di
depanku.
...
Sampai di tempat Paman James, dengan gembira Anne langsung menyapa sang
pemilik restoran sederhana tapi sangat digemari banyak pengunjung. “Hai, Paman, kami
pesan bubble & squeak tanpa daging.”
“Ssh.. Anne, jangan mengganggu orang yang sedang makan.”
Anne spontan memamerkan senyum tanpa dosanya. “Oops. Aku tidak tahu
kalau restoran Paman James sedang ramai hari ini.” Bisiknya.
“Ish, kau ini.” Aku menyentil kening Anne pelan. Lucu kenapa sekarang
jadi aku yang harus bertingkah sebagai kakak.
“Maaf, maaf, silakan lanjutkan acara makan kalian.” Kataku.
Dengan cepat kami menghambur pergi menuju meja makan yang masih kosong. Sebenarnya
meja yang kami tuju bukanlah meja favorit kami. Meja yang sering kami tempati
letaknya di dekat jendela kaca yang menghadap langsung ke jalan, dari tempat itu
kami bisa mengamati apa yang orang-orang lakukan di luar sana. Yah, anggap saja
itu seperti tv besar kami yang melaporkan kejadian secara langsung. Sayangnya
meja itu sudah terisi. Tapi tak masalah, setidaknya masih ada meja yang tersisa
untuk kami.
“Hai, nona-nona, kalian mau pesan apa?” tanya seorang pemuda yang entah
muncul darimana atau kapan.
“Hah?” jawabku spontan. “Tunggu, kenapa kau disini?” tanyaku kemudian
pada pemuda itu.
“Mencatat pesanan kalian, menurutmu?” jawab pemuda itu.
Anne terkekeh, “Kamu pasti habis mengamati orang yang sedang menempati
meja kita ya?”
“Haha, maaf...” ucapku sambil berusaha menyembunyikan wajah.
Pemuda itu memandang kami dengan tatapan setengah tak percaya,
“Nona-nona…? Apa pesanan kalian?”
“Bubble & Squeak tanpa daging dan secangkir teh.” Jawab Anne. “Kau?”
“Bubble & Squeak tanpa daging dan cappucino.”
“Hey, kau jangan minum kopi. Lihat kantung matamu sudah setebal apa.”
Kata Anne.
“Haha, memangnya itu berpengaruh?”
Anne menoleh ke kiri dan kanan, kemudian entah demi apa ia mulai
mengganggu orang makan di sampingnya. Lebih tepatnya seorang pria paruh baya di
meja sampingnya. “Permisi, Tuan, Anda belum berniat menggunakan sendok itu kan?
Boleh saya pinjam sebentar?” tanyanya. Sang pria paruh baya tersebut lantas mengangkat sebelah alisnya,
namun tidak lama kemudian beliau memberikan sendok itu kepada Anne, “Tentu.”
Jawab sang bapak.
“Anne!” panggilku sambil memberi isyarat ‘apa yang kau lakukan?!’
Dia kemudian menyodorkan sendok itu kepadaku. “Tengok sendiri.”
Aku melihat bayanganku di sendok yang disodorkan Anne. “Astaga!” pekikku
sesaat. Kantung mataku terlihat gelap. Tidak segelap itu sebenarnya, tapi
kantung mata tetaplah kantung mata.
“Tidak seburuk itu, hm?” Anne melempar pertanyaan retorik padaku, sambil
kemudian ia mengembalikan sendok di genggamannya. “Terimakasih, Tuan.”
Aku memandangnya sejenak. Sejujurnya aku tidak peduli, anggap saja aku
sudah terlahir dengan nasib memiliki kantung mata menghitam ala panda. Hanya saja kadang
kupikir tidak menyenangkan juga kalau detail kecil ini terus singgah apalagi
bertambah. Berkat kantung mata ini kadang orang akan mengira aku sedang memandang sinis
“Baiklah, iced lemon tea.” Kataku mengalah.
Anne melipat tangannya. “Kau tidak boleh terlalu sering minum es, tidak
baik untuk kesehatan.”
“Urrgghh…. Milkshake?”
“Terlalu banyak minuman manis bisa membuatmu diabetes.”
Kini giliranku yang melipat tangan. “Memangnya tahu apa kau soal
diabetes?”
“Banyak.” Ucapnya tidak butuh waktu lama. “Bibiku meninggal karena
diabetes. Mungkin pengetahuanku tidak sebanyak dokter, tapi setidaknya aku
tahu.”
Aku terdiam sejenak. “Maaf.” Ucapku kemudian yang disusul anggukan
olehnya.
“Shann, bisa kau putuskan saja mau minum apa? Lama-lama aku bisa beralih
profesi jadi patung selamat datang kalau begini.” Sahut sang pelayan yang
memang sudah berdiri disitu cukup lama.
“Oops, maaf.” Pekikku. “Baiklah, secangkir teh kalau begitu.”
“Haha, lebih kreatiflah sedikit, jangan meniruku.”
Aku pun menghela nafas seraya memandang sinis. “Kau mau aku minum apa?
Air mineral?” kataku dengan nada setengah tak percaya.
“Catat itu!” sahut Anne cepat sambil menunjuk ke arah sang pelayan.
Aku melongok ke arahnya sambil menggelengkan kepala. "Jangan catat itu." kataku dengan nada mengancam. Tapi seperti
dugaan, dia berada di kubu Anne.
Pemuda itu terkekeh. “Siap, pesanan dicatat. Harap tunggu sejenak,
Nona-nona.”
“Peter!” aku melirik dengan tatapan tajam, tapi dia hanya tersenyum lebar
sambil berlalu.
Ah, sudahlah.
Anne tertawa dengan gaya khasnya. “Benar-benar ya kau ini.” Ucapnya
masih dengan tawanya yang entah sampai kapan akan berhenti.
“Berhenti tertawa, Anne.”
“Hey, it bukan salahku. Aku bukan bermaksud mengerjaimu.”
Gadis itu kemudian menghembuskan nafas panjang, menghentikan tawanya.
“Lagipula, itu salahmu.” Imbuhnya sambil menyentil hidungku pelan.
“Karena terlalu banyak meladeni permintaan orang.”
Aku kembali terdiam. Sayangnya dia
benar, walaupun rasanya masih sedikit jengkel. Sebenarnya bisa saja tadi aku
tidak mendengar sarannya dan tetap memesan apa yang kuinginkan. Sedikit keras
kepala sesekali tidak ada salahnya. Lucunya, entah kenapa aku tidak pernah
terpikir untuk melakukannya. Mungkin ada yang salah dengan kepalaku.
“Kau benar.” Ucapku.
Anne hanya tersenyum.
Sambil bersender ke kursi, aku mulai mengedarkan pandanganku ke segala
penjuru yang dapat kutuju. Entah kenapa aku punya firasat akan merindukan
tempat ini. Tak ada yang sesederhana tempat ini. Tempat sederhana dengan
kebahagiaan yang begitu sederhana. Yap, aku akan merindukan tempat ini.
Bagaimana bisa sesuatu yang sederhana justru yang paling dirindukan. Batinku
tak habis pikir. Kenapa, bagaimana bisa sesuatu yang sederhana menyimpan
beribu makna.
“Soal Amerika…” ucap Anne lirih.
Huah, kalau begitu aku akan berkeras kepala :v
ReplyDeleteGa gitu juga dek��
Delete