apapun yang bisa author tulis untuk readers.

Sunday, December 18, 2016

STARGAZER : Between Two Stars (Part 2)


STARGAZER

Between Two Stars

by Gita Ardeny

Parte 2

(source : zerochan)






...

“Shann…” panggilnya kemudian.

Spontan aku menoleh, serasa diseret paksa untuk kembali ke realita. Padahal baru saja aku sampai ke bagian yang paling sentimentil.
“Soal Amerika…”
“Ya?”
“Kau serius akan pergi?”
Aku mengangguk.
“Apa kau akan pulang?”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Ya, tentu saja. Apa maksudmu?” Lalu aku terdiam. Tunggu, sejujurnya aku tidak bisa menjanjikan itu.
“Sebenarnya…” Anne membuka mulutnya, namun kemudian diam seketika.
            Entah kenapa aku punya firasat yang tidak menyenangkan. “Anne, kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku?” tanyaku. Lalu Anne hanya terdiam cukup lama hingga Peter kembali menuju meja kami dengan nampan penuh berisi menu pesanan.
            “Pesanan kalian, dua bubble & squeak, secangkir teh, dan satu botol air mineral. Ada lagi yang bisa saya bantu?” Ucap Peter kemudian ikut terdiam melihat kami mendiamkan satu sama lain.
            “Hmm, kalian sedang bertengkar?”
            Aku hanya mengangkat bahuku.
            “Shannon…” panggil pemuda itu.
            “Tidak.” Jawabku berusaha terlihat meyakinkan. “Sana, kembalilah bekerja.”
            “Ooh.. keberatan kalau aku ikut mendengarkan?”
            “Tidak, ini urusan perempuan. Pergi sana!” usirku.
            Peter memandang kami dengan tatapan tidak meyakinkan. “Urusan perempuan atau urusan kalian?”
            Seketika aku terdiam. Aku tahu itu pertanyaan menjebak, dan bodohnya aku tidak segera memberikan respon.
            “Yap, kalian butuh dimediasi. Haha.”
            Pemuda itu lantas menggeser kursi kosong yang ada di meja kami lalu duduk begitu saja tanpa meminta izin. “Hey, siapa yang mengizinkanmu duduk disini?” tanyaku ketus.
            “Aku.” Jawabnya sederhana.
            Sambil melepas dasi kupu-kupu dan satu kancing kerahnya, ia menjetikkan jarinya ke arah rekan kerjanya bernama Joe sambil memberi isyarat. “Hey, kawan, gantikan shiftku, ok? Ada nona-nona yang butuh dimediasi.”
            “Lakukan sendiri tugasmu!” protes Joe.
            “Hey, kau mau kita dimarahi si pak tua itu gara-gara pertengkaran dua gadis ini yang siapa tahu sebentar lagi mereka akan mulai saling menjambak dan sebagainya?”
            “Baiklah, terserah.”
            “Aku mengandalkanmu, Manager.” Katanya sambil tertawa.
            Segelintir mata pengunjung sempat memperhatikan kami beberapa saat seolah kami benar-benar akan berkelahi di dalam restoran. Coba tebak salah siapa? Peter. Kalau bukan karena di dalam restoran, ingin sekali kusiram dengan air mineral ini. Pertama karena dia berada di kubu Anne, kedua karena dia menciptakan perhatian yang tidak perlu, dan yang ketiga aku hanya ingin menyiramnya karena kesal.
            Aku menghela nafas.
            Tidak, aku hanya bercanda. Tidak mungkin aku berani melakukannya, ya walaupun itu tidak mengubah fakta kalau aku masih kesal berkat sikapnya yang menyebalkan.
            “Terimaksih sudah menciptakan perhatian yang tidak dibutuhkan Tuan Mediator. Kalau ada orang yang ingin sekali kujambak rambutnya itu pasti kau.” Ucapku sedikit ketus.
            “Haha, ya maaf soal itu.” Balasnya.
            Dia melipat tangannya di meja. “Jadi, apa masalah kalian? Aku bisa meminjamkan telingaku untuk beberapa saat.”
            “Kami tidak butuh, kami punya telinga sendiri.”
            “Hey, aku serius, Shann.”
            “Urgh, maaf.”
            Peter lalu memandangi kami satu-persatu sebelum kembali ke pertanyannya. “Jadi, coba kutanya lagi, apa yang jadi masalah kalian sekarang?”
            Aku menggeleng. “Aku tidak tahu.” Jawabku terus terang.
            “Aku mengerti.” Balasnya singkat. Tidak butuh waktu lama untuk meyakinkannya, sebab ia pun tahu aku tidak mungkin menyembunyikan sesuatu dari keduanya. Tidak di saat ini setidaknya.
            Kini kami menoleh ke arah Anne. Ia tampak bungkam seribu bahasa sambil terus menyeruput cangkir tehnya.
            Anne berbalik melihat ke arah mata kami, menyudahi cita rasa teh hitamnya. “Baiklah.”  Lirihnya sambil menaruh cangkir teh di tangannya.
            Sejenak ia menghembuskan nafas.
            “Maaf, Peter, aku belum memberitahunya.”
            Kini ganti pemuda itu yang menghembuskan nafas panjang, lebih seperti helaan keputusasaaan. “Bukankah sudah kubilang untuk segera memberitahunya?”
            “Apa kau tidak kasihan padanya jika kau pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal?” imbuhnya.
            Tunggu, selamat tinggal? Maksudmu perpisahan? “Apa yang kalian bicarakan?” selaku.
            “Maaf, aku hanya tidak yakin sanggup mengucapkan kata itu.” Sahut Anne.
            “Tunggu sebentar, aku tidak mengerti.” Aku memegang keningku yang entah kenapa mulai berdenyut. “Anne, jelaskan padaku.” Pintaku kemudian.
            Lagi-lagi Anne hanya diam.
            “Anne?”
            “Tenang, Shannon. Dia tidak akan meninggalkanmu, hanya saja pergi sepertimu.” Ucap Peter.
            “Pergi?”
            “Ya, ke Perancis.” Sahut Anne. “Dan sayangnya aku akan menetap disana. Kurasa.”
            Terus terang aku terkejut, sangat terkejut. Entah aku harus berucap apa untuk kabar yang begitu mendadak seperti ini.
            “Sekarang kau mengerti bagaimana terkejutny aku ketika mendengar kau akan ke Amerika, eh, Shannon?” ucap Anne sambil tertawa kecil. “Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja, dan aku tidak akan melupakanmu.”
            “Aku mengerti, tapi kenapa? Kukira kau tidak ingin aku pergi ke Amerika.”
            “Ya, agar kau bisa ikut dengan kami.”
            “Kami?” tanyaku tak habis pikir. Apa maksudnya dengan kami?
            Anne melirik ke arah Peter.
            “Hah?! Tunggu, apa?!”
            “Iya, Shannon. Anne dan aku akan pergi ke Perancis. Kami akan menikah disana lalu menetap sebagai sebuah keluarga disana.”
            “Bohong, mustahil, t-tidak mungkin, tidak bisa dipercaya, maksudku…”
            Aku memegang keningku. “Urgh…”
            Sekali lagi kepalaku mulai berdenyut. Semua informasi mengejutkan masuk ke dalam otak sekaligus, serasa dihantam badai bertubi-tubi. Dimana bagusnya lagi, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah aku harus bahagia, sedih, terkejut, terharu, atau bagaimana. Aku sungguh tidak tahu.
            “Kami tahu kau terkejut. Sebenarnya kami juga. Haha.” Sahut Peter.
            Kemudian Peter mulai menceritakan semuanya padaku, bagaimana Paman James yang merupakan ayah angkat Peter dan keluarga Anne berniat membuka restoran di Perancis. Mereka ingin ada yang mengelola itu, namun rasanya tidak adil jika hanya dari salah satu pihak yang mengelola. Karena kebetulan Paman James memiliki anak angkat laki-laki dan Anne memiliki seorang anak perempuan, maka jadilah perjodohan diantaranya. Antara Peter Howen, dan Anne Abelard Sieffre.
            “Kalian setuju begitu saja?” tanyaku sedikit ragu.
            Keduanya lalu mengangguk hampir bersamaan.
            “Yah, Peter orang yang baik. Kita berdua sudah mengenalnya sejak kecil, jadi paling tidak aku sudah tahu segala sesuatu tentangnya.”
            Aku kenal baik Anne. Tidak butuh penjelasan panjang untuk membuatku yakin padanya, namun di saat yang bersamaan aku ingin meyakinkan diriku bahwa pemuda di sampingku ini juga berpikiran sama. Maka tanpa butuh jeda panjang, aku langsung menoleh ke arahnya.
            “Kenapa, Shann? Kau meragukanku?” tanyanya.
            “Tidak, aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri.”
            Peter mengernyitkan dahinya. “Baiklah, aku tidak tahu harus berkata apa. Terus terang aku bukan orang yang romantis, puitis, apapun itu, dan aku mengakuinya. Tapi aku berjanji aku akan menjaga Anne. Lagipula aku sudah menyukainya sejak dulu, hanya saja aku tidak pernah mengatakannya.”
            “Oh, benarkah itu?” sahut Anne tak percaya.
            “Oops. Sekarang aku mengatakannya. Terimakasih banyak, Shannon. Bagus sekali.” Ucap Peter yang kemudian disusul tawa diantara keduanya.
            “Baiklah, cukup kalian berdua. Aku belum selesai.” Kataku.
            “Ada apa, Shann? Kau belum puas dengan jawaban kami?” tanya Anne.
            “Lihat, ini yang kau dapat karena tidak segera memberitahunya.”
            “Oh, diamlah, Peter.”
            Kalian berdua diamlah!” seruku. “Aku sedang berpikir.
            Rasanya masih tak habis pikir. Tanpa sadar aku mulai menundukkan kepalaku, menatap kosong ke arah pesanan kami yang belum terjamah sedikitpun. Sebelumnya aku tidak lapar, dan sekarang aku semakin tidak lapar. Batinku. Seolah menguap, nafsu makanku langsung hilang seketika.
            “Baiklah, kapan kalian berangkat?”
            “Sebenarnya kami sudah merencanakan keberangkatan kami cukup lama. Kami sudah memesan tiket untuk tanggal 14 September.”
            Kapan itu tanggal 14? Batink berpikir sejenak. Kapan? Hari apa? Minggu depan? Tunggu dulu, kalau tidak salah hari ini tanggal 13 itu artinya besok, huh? “Astaga, besok?!!!” kali ini aku benar-benar terkejut, hingga tanpa sadar aku menggebrak meja.
            “Tenangkan dirimu, Shann!” seru Anne, sementara Peter mencoba menenangkan pelanggan yang pandangannya kembali tertuju ke arah kami.
            “Maaf, okay, aku tenang. Sangat tenang.”
Tidak, aku tidak tenang. Tidak mungkin aku tenang. Apa-apaan ini, Anne? Kenapa kau baru bilang sekarang? Keluhku dalam hati. Besok mungkin akan menjadi hari terakhirmu menginjakkan kakimu di Inggris, dan kau baru memberitahuku sekarang. Menurutmu aku harus bagaimana? Aku… aku…
“Aku benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.” Ucapku lirih.
“Shannon...” panggil Peter. “Kami tahu kau mengkhawatirkan kami, tapi percayalah kami akan baik-baik saja disana.”
“Oh ya? Kau tahu Perancis tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Menurutmu kau bisa menguasai bahasa itu hanya dalam hitungan jam?”
Peter melirik ke arah Anne yang sedang tersenyum lembut. “Hey, kau lupa kalau aku ini keturunan orang Perancis?” ucap gadis itu lembut. “Ayahku mungkin orang Inggris, tapi ibuku orang Perancis, kau ingat? Ayahku juga cukup fasih berbahasa Perancis dan keluarga kami sering menggunakan bahasa itu ketika mengobrol di dalam rumah.”
Aku terdiam sejenak, untuk beberapa saat aku memang melupakan fakta itu.
“Bagaimana dengan Peter?”
“Oh, jangan khawatir! Dia pandai berbahasa Perancis. Dulu dia sempat mengambil kelas bahasa Perancis, bahkan ia sempat belajar bahasa itu langsung dari ibuku.”
            Mataku mengedar ke beberapa sudut ruangan di depanku, kemudian beralih ke sepasang calon suami-istri di depanku. Ah, mereka memang terlihat serasi. Batinku. Lalu terakhir mataku tertuju ke arah pesanan yang kurasa sudah mendingin sejak beberapa saat lalu. Lucu, lidahku mendadak terasa kelu seolah sudah lelah bertanya. Untuk sekedar menghela nafas pun rasanya sudah lelah. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dan aku tidak mau menyimpannya.
            Aku menggigit bibir bawahku.
            “Kenapa baru sekarang kau bilang?” ucapku.
            “Esok mungkin hari terakhirmu menginjakkan kaki di Inggris dan kau baru bilang sekarang. Bahkan tentang perjodohan atau apapun itu, kau akan menikah dengan seseorang yang juga kukenal dan kau baru bilang sekarang. Kau akan memulai hidup barumu dan kau baru bilang sekarang?”
            “Shann…”
            “Menurutmu aku harus bagaimana? Aku harus bahagia, sedih, atau keduanya? Aku tidak tahu, Anne. Itu tidak adil.”
            Anne terdiam.
            “Padahal kau yang tadi pagi berniat mencegahku pergi dari Inggris, sekarang justru kau yang akan pergi? Kenapa baru sekarang, Anne, Peter… kenapa baru sekarang?”
            “Aku mencoba memberitahumu, tapi akhir-akhir ini kau selalu sibuk. Aku tidak tega mengganggumu. Kadang-kadang aku melihatmu tampak lelah, murung, sedih, tapi kau tetap bertingkah seolah kau baik-baik saja. Dalam kondisi seperti itu bagaimana caraku memberitahumu?”
            “Tapi itu tetap tidak adil, Anne! Kau pikir aku ini apa? Kukira kau sudah menganggapku saudarimu sendiri, lalu kenapa diantara sekian banyak orang rasanya aku menjadi orang terakhir yang mengetahui kepergianmu, kepergian kalian. Itu tidak adil.”
            Kali ini gadis di hadapanku itu mengerutkan dahinya. Tangannya tampak mencengkeram alas meja. “Lalu bagaimana denganmu?”
            “Kau pun berencana untuk pergi ke Amerika tanpa berpamitan, kan? Sedikitpun kau tidak bercerita pada kami alasanmu pergi kesana, apa yang akan kau lakukan disana, apa kau akan baik-baik saja. Menurutmu bagaimana perasaan kami? Bagaimana perasaanku mengetahui seseorang yang kuanggap keluarga meninggalkanku tanpa alasan, tanpa perpisahan, tanpa apapun. Menurutmu bagaimana aku harus bereaksi?”
            Itu…
            “Kita berdua tak ada bedanya.” Ucapnya.
            Sama-sama takut mengakhiri suatu pertemuan, walau pertemuan itu belum tentu akan menjadi pertemuan terakhir.
            “Maafkan aku.” Ucapku.
            “Tak apa, aku juga minta maaf.” Balas Anne dengan senyum khasnya.
            Peter yang beberapa kali harus terdiam seribu bahasa menyaksikan percakapan kami, mendadak mulai bangkit dari tempat duduknya.
            “Percakapan yang intens antar dua wanita yang menganggap satu sama lain sebagai saudara.” Ucapnya ringan.
            Aku hanya melirik ke arahnya dan ia malah tersenyum. “Kenapa? Itu bagus bukan kalian menyelesaikan permasalahan kalian dengan sebuah percakapan.”
            “Kalian berdua tetap disini, ok? Tunggu disini.”

 
(To Be Continue...)

0 komentar:

Post a Comment

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Popular Posts

Quotes Of The Day

Don't Forget To Be Grateful

Mind to Visit?

My Alternate: http://walk-path.blogspot.com/ Friends: http://a-story-to-read.blogspot.com/ http://13thheavenlyparadise.wordpress.com/

About

I'm just an ordinary person who happened to love writting. And here as what the description blog says (although you cannot see it unless you block it) I'll write anything I could regardless whether or not it is important. So, I'll be happy if it can entertain you or perhaps becoming useful for some sort, well somehow and I'm sorry if it couldn't brighten your day. Nevertheless, I also want to thank you for visiting this blog. Thank you very much!


Copyright © From Authors To Readers | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com