STARGAZER
Between Two Stars
by Gita Ardeny
Parte 2
(source : zerochan)
...
“Shann…” panggilnya kemudian.
Spontan aku menoleh, serasa diseret paksa untuk kembali ke realita.
Padahal baru saja aku sampai ke bagian yang paling sentimentil.
“Soal Amerika…”
“Ya?”
“Kau serius akan pergi?”
Aku mengangguk.
“Apa kau akan pulang?”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Ya, tentu saja. Apa maksudmu?” Lalu aku
terdiam. Tunggu, sejujurnya aku tidak bisa menjanjikan itu.
“Sebenarnya…” Anne membuka mulutnya, namun kemudian diam seketika.
Entah kenapa aku punya firasat yang
tidak menyenangkan. “Anne, kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku?” tanyaku.
Lalu Anne hanya terdiam cukup lama hingga Peter kembali menuju meja kami dengan
nampan penuh berisi menu pesanan.
“Pesanan kalian, dua bubble & squeak,
secangkir teh, dan satu botol air mineral. Ada lagi yang bisa saya bantu?” Ucap
Peter kemudian ikut terdiam melihat kami mendiamkan satu sama lain.
“Hmm, kalian sedang bertengkar?”
Aku hanya mengangkat bahuku.
“Shannon…” panggil pemuda itu.
“Tidak.” Jawabku berusaha terlihat
meyakinkan. “Sana, kembalilah bekerja.”
“Ooh.. keberatan kalau aku ikut
mendengarkan?”
“Tidak, ini urusan perempuan. Pergi
sana!” usirku.
Peter memandang kami dengan tatapan
tidak meyakinkan. “Urusan perempuan atau urusan kalian?”
Seketika aku terdiam. Aku tahu itu
pertanyaan menjebak, dan bodohnya aku tidak segera memberikan respon.
“Yap, kalian butuh dimediasi. Haha.”
Pemuda itu lantas menggeser kursi
kosong yang ada di meja kami lalu duduk begitu saja tanpa meminta izin. “Hey,
siapa yang mengizinkanmu duduk disini?” tanyaku ketus.
“Aku.” Jawabnya sederhana.
Sambil melepas dasi kupu-kupu dan
satu kancing kerahnya, ia menjetikkan jarinya ke arah rekan kerjanya bernama
Joe sambil memberi isyarat. “Hey, kawan, gantikan shiftku, ok? Ada nona-nona
yang butuh dimediasi.”
“Lakukan sendiri tugasmu!” protes
Joe.
“Hey, kau mau kita dimarahi si pak
tua itu gara-gara pertengkaran dua gadis ini yang siapa tahu sebentar lagi
mereka akan mulai saling menjambak dan sebagainya?”
“Baiklah, terserah.”
“Aku mengandalkanmu, Manager.”
Katanya sambil tertawa.
Segelintir mata pengunjung sempat
memperhatikan kami beberapa saat seolah kami benar-benar akan berkelahi di
dalam restoran. Coba tebak salah siapa? Peter. Kalau bukan karena di dalam
restoran, ingin sekali kusiram dengan air mineral ini. Pertama karena dia
berada di kubu Anne, kedua karena dia menciptakan perhatian yang tidak perlu,
dan yang ketiga aku hanya ingin menyiramnya karena kesal.
Aku menghela nafas.
Tidak, aku hanya bercanda. Tidak
mungkin aku berani melakukannya, ya walaupun itu tidak mengubah fakta kalau aku
masih kesal berkat sikapnya yang menyebalkan.
“Terimaksih sudah menciptakan
perhatian yang tidak dibutuhkan Tuan Mediator. Kalau ada orang yang ingin
sekali kujambak rambutnya itu pasti kau.” Ucapku sedikit ketus.
“Haha, ya maaf soal itu.” Balasnya.
Dia melipat tangannya di meja.
“Jadi, apa masalah kalian? Aku bisa meminjamkan telingaku untuk beberapa saat.”
“Kami tidak butuh, kami punya
telinga sendiri.”
“Hey, aku serius, Shann.”
“Urgh, maaf.”
Peter lalu memandangi kami
satu-persatu sebelum kembali ke pertanyannya. “Jadi, coba kutanya lagi, apa
yang jadi masalah kalian sekarang?”
Aku menggeleng. “Aku tidak tahu.”
Jawabku terus terang.
“Aku mengerti.” Balasnya singkat.
Tidak butuh waktu lama untuk meyakinkannya, sebab ia pun tahu aku tidak mungkin
menyembunyikan sesuatu dari keduanya. Tidak di saat ini setidaknya.
Kini kami menoleh ke arah Anne. Ia
tampak bungkam seribu bahasa sambil terus menyeruput cangkir tehnya.
Anne berbalik melihat ke arah mata
kami, menyudahi cita rasa teh hitamnya. “Baiklah.” Lirihnya sambil menaruh cangkir teh di
tangannya.
Sejenak ia menghembuskan nafas.
“Maaf, Peter, aku belum
memberitahunya.”
Kini ganti pemuda itu yang menghembuskan
nafas panjang, lebih seperti helaan keputusasaaan. “Bukankah sudah kubilang
untuk segera memberitahunya?”
“Apa kau tidak kasihan padanya jika
kau pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal?” imbuhnya.
Tunggu, selamat tinggal? Maksudmu
perpisahan? “Apa yang kalian bicarakan?” selaku.
“Maaf, aku hanya tidak yakin sanggup
mengucapkan kata itu.” Sahut Anne.
“Tunggu sebentar, aku tidak
mengerti.” Aku memegang keningku yang entah kenapa mulai berdenyut. “Anne,
jelaskan padaku.” Pintaku kemudian.
Lagi-lagi Anne hanya diam.
“Anne?”
“Tenang, Shannon. Dia tidak akan
meninggalkanmu, hanya saja pergi sepertimu.” Ucap Peter.
“Pergi?”
“Ya, ke Perancis.” Sahut Anne. “Dan
sayangnya aku akan menetap disana. Kurasa.”
Terus terang aku terkejut, sangat
terkejut. Entah aku harus berucap apa untuk kabar yang begitu mendadak seperti
ini.
“Sekarang kau mengerti bagaimana
terkejutny aku ketika mendengar kau akan ke Amerika, eh, Shannon?” ucap Anne
sambil tertawa kecil. “Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja, dan aku tidak
akan melupakanmu.”
“Aku mengerti, tapi kenapa? Kukira
kau tidak ingin aku pergi ke Amerika.”
“Ya, agar kau bisa ikut dengan
kami.”
“Kami?” tanyaku tak habis pikir. Apa
maksudnya dengan kami?
Anne melirik ke arah Peter.
“Hah?! Tunggu, apa?!”
“Iya, Shannon. Anne dan aku akan
pergi ke Perancis. Kami akan menikah disana lalu menetap sebagai sebuah
keluarga disana.”
“Bohong, mustahil, t-tidak mungkin,
tidak bisa dipercaya, maksudku…”
Aku memegang keningku. “Urgh…”
Sekali lagi kepalaku mulai
berdenyut. Semua informasi mengejutkan masuk ke dalam otak sekaligus, serasa
dihantam badai bertubi-tubi. Dimana bagusnya lagi, aku tidak tahu harus
bereaksi seperti apa. Apakah aku harus bahagia, sedih, terkejut, terharu, atau
bagaimana. Aku sungguh tidak tahu.
“Kami tahu kau terkejut. Sebenarnya
kami juga. Haha.” Sahut Peter.
Kemudian Peter mulai menceritakan
semuanya padaku, bagaimana Paman James yang merupakan ayah angkat Peter dan
keluarga Anne berniat membuka restoran di Perancis. Mereka ingin ada yang
mengelola itu, namun rasanya tidak adil jika hanya dari salah satu pihak yang
mengelola. Karena kebetulan Paman James memiliki anak angkat laki-laki dan Anne
memiliki seorang anak perempuan, maka jadilah perjodohan diantaranya. Antara
Peter Howen, dan Anne Abelard Sieffre.
“Kalian setuju begitu saja?” tanyaku
sedikit ragu.
Keduanya lalu mengangguk hampir
bersamaan.
“Yah, Peter orang yang baik. Kita
berdua sudah mengenalnya sejak kecil, jadi paling tidak aku sudah tahu segala
sesuatu tentangnya.”
Aku kenal baik Anne. Tidak butuh
penjelasan panjang untuk membuatku yakin padanya, namun di saat yang bersamaan
aku ingin meyakinkan diriku bahwa pemuda di sampingku ini juga berpikiran sama.
Maka tanpa butuh jeda panjang, aku langsung menoleh ke arahnya.
“Kenapa, Shann? Kau meragukanku?”
tanyanya.
“Tidak, aku hanya ingin meyakinkan
diriku sendiri.”
Peter mengernyitkan dahinya.
“Baiklah, aku tidak tahu harus berkata apa. Terus terang aku bukan orang yang
romantis, puitis, apapun itu, dan aku mengakuinya. Tapi aku berjanji aku akan
menjaga Anne. Lagipula aku sudah menyukainya sejak dulu, hanya saja aku tidak
pernah mengatakannya.”
“Oh, benarkah itu?” sahut Anne tak percaya.
“Oops. Sekarang aku mengatakannya.
Terimakasih banyak, Shannon. Bagus sekali.” Ucap Peter yang kemudian disusul
tawa diantara keduanya.
“Baiklah, cukup kalian berdua. Aku
belum selesai.” Kataku.
“Ada apa, Shann? Kau belum puas
dengan jawaban kami?” tanya Anne.
“Lihat, ini yang kau dapat karena
tidak segera memberitahunya.”
“Oh, diamlah, Peter.”
“Kalian berdua diamlah!” seruku.
“Aku sedang berpikir.”
Rasanya masih tak habis pikir. Tanpa
sadar aku mulai menundukkan kepalaku, menatap kosong ke arah pesanan kami yang
belum terjamah sedikitpun. Sebelumnya aku tidak lapar, dan sekarang aku semakin
tidak lapar. Batinku. Seolah menguap, nafsu makanku langsung hilang seketika.
“Baiklah, kapan kalian berangkat?”
“Sebenarnya kami sudah merencanakan
keberangkatan kami cukup lama. Kami sudah memesan tiket untuk tanggal 14
September.”
Kapan itu tanggal 14? Batink
berpikir sejenak. Kapan? Hari apa? Minggu depan? Tunggu dulu, kalau tidak salah
hari ini tanggal 13 itu artinya besok, huh? “Astaga, besok?!!!” kali ini aku
benar-benar terkejut, hingga tanpa sadar aku menggebrak meja.
“Tenangkan dirimu, Shann!” seru
Anne, sementara Peter mencoba menenangkan pelanggan yang pandangannya kembali
tertuju ke arah kami.
“Maaf, okay, aku tenang. Sangat
tenang.”
Tidak, aku tidak tenang. Tidak mungkin aku tenang. Apa-apaan ini, Anne?
Kenapa kau baru bilang sekarang? Keluhku dalam hati. Besok mungkin akan menjadi
hari terakhirmu menginjakkan kakimu di Inggris, dan kau baru memberitahuku
sekarang. Menurutmu aku harus bagaimana? Aku… aku…
“Aku benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi.” Ucapku
lirih.
“Shannon...” panggil Peter. “Kami tahu kau mengkhawatirkan kami, tapi
percayalah kami akan baik-baik saja disana.”
“Oh ya? Kau tahu Perancis tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa sehari-hari. Menurutmu kau bisa menguasai bahasa itu hanya dalam
hitungan jam?”
Peter melirik ke arah Anne yang sedang tersenyum lembut. “Hey, kau lupa
kalau aku ini keturunan orang Perancis?” ucap gadis itu lembut. “Ayahku mungkin
orang Inggris, tapi ibuku orang Perancis, kau ingat? Ayahku juga cukup fasih
berbahasa Perancis dan keluarga kami sering menggunakan bahasa itu ketika
mengobrol di dalam rumah.”
Aku terdiam sejenak, untuk beberapa saat aku memang melupakan fakta itu.
“Bagaimana dengan Peter?”
“Oh, jangan khawatir! Dia pandai berbahasa Perancis. Dulu dia sempat
mengambil kelas bahasa Perancis, bahkan ia sempat belajar bahasa itu langsung
dari ibuku.”
Mataku mengedar ke beberapa sudut
ruangan di depanku, kemudian beralih ke sepasang calon suami-istri di depanku.
Ah, mereka memang terlihat serasi. Batinku. Lalu terakhir mataku tertuju ke
arah pesanan yang kurasa sudah mendingin sejak beberapa saat lalu. Lucu,
lidahku mendadak terasa kelu seolah sudah lelah bertanya. Untuk sekedar
menghela nafas pun rasanya sudah lelah. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal
dan aku tidak mau menyimpannya.
Aku menggigit bibir bawahku.
“Kenapa baru sekarang kau bilang?”
ucapku.
“Esok
mungkin hari terakhirmu menginjakkan kaki di Inggris dan kau baru bilang
sekarang. Bahkan tentang perjodohan atau apapun itu, kau akan menikah dengan
seseorang yang juga kukenal dan kau baru bilang sekarang. Kau akan memulai
hidup barumu dan kau baru bilang sekarang?”
“Shann…”
“Menurutmu aku harus bagaimana? Aku
harus bahagia, sedih, atau keduanya? Aku tidak tahu, Anne. Itu tidak adil.”
Anne terdiam.
“Padahal kau yang tadi pagi berniat
mencegahku pergi dari Inggris, sekarang justru kau yang akan pergi? Kenapa baru
sekarang, Anne, Peter… kenapa baru sekarang?”
“Aku mencoba memberitahumu, tapi
akhir-akhir ini kau selalu sibuk. Aku tidak tega mengganggumu. Kadang-kadang
aku melihatmu tampak lelah, murung, sedih, tapi kau tetap bertingkah seolah kau
baik-baik saja. Dalam kondisi seperti itu bagaimana caraku memberitahumu?”
“Tapi itu tetap tidak adil, Anne!
Kau pikir aku ini apa? Kukira kau sudah menganggapku saudarimu sendiri, lalu
kenapa diantara sekian banyak orang rasanya aku menjadi orang terakhir yang
mengetahui kepergianmu, kepergian kalian. Itu tidak adil.”
Kali ini gadis di hadapanku itu mengerutkan
dahinya. Tangannya tampak mencengkeram alas meja. “Lalu bagaimana denganmu?”
“Kau pun berencana untuk pergi ke
Amerika tanpa berpamitan, kan? Sedikitpun kau tidak bercerita pada kami
alasanmu pergi kesana, apa yang akan kau lakukan disana, apa kau akan baik-baik
saja. Menurutmu bagaimana perasaan kami? Bagaimana perasaanku mengetahui
seseorang yang kuanggap keluarga meninggalkanku tanpa alasan, tanpa perpisahan,
tanpa apapun. Menurutmu bagaimana aku harus bereaksi?”
Itu…
“Kita berdua tak ada bedanya.” Ucapnya.
Sama-sama takut mengakhiri suatu
pertemuan, walau pertemuan itu belum tentu akan menjadi pertemuan terakhir.
“Maafkan aku.” Ucapku.
“Tak apa, aku juga minta maaf.” Balas
Anne dengan senyum khasnya.
Peter yang beberapa kali harus
terdiam seribu bahasa menyaksikan percakapan kami, mendadak mulai bangkit dari
tempat duduknya.
“Percakapan yang intens antar dua
wanita yang menganggap satu sama lain sebagai saudara.” Ucapnya ringan.
Aku hanya melirik ke arahnya dan ia malah
tersenyum. “Kenapa? Itu bagus bukan kalian menyelesaikan permasalahan kalian
dengan sebuah percakapan.”
“Kalian berdua tetap disini, ok?
Tunggu disini.”
0 komentar:
Post a Comment