apapun yang bisa author tulis untuk readers.

Sunday, February 12, 2017

STARGAZER : Between Two Star (Part 3)



      STARGAZER

Between Two Stars

by Gita Ardeny

Parte 3

(source : zerochan)     



           “Oh, tunggu, aku melupakan sesuatu.” Peter tampak merogoh sakunya.

            “Kalian berdua tetap disini, ok? Tunggu disini.”

            Tanpa kata, tanpa kalimat atau alasan lebih lanjut, ia langsung pergi meninggalkan kami begitu saja. Kadang aku sampai lupa bisa seabsurd apa orang itu.

            “Peter dan segala pikirannya yang tidak kuketahui.” Gumamku.

            Anne tertawa. “Oh ya? Malah kau satu-satunya orang yang kutahu dapat menebak pikiran orang dengan baik.”

            “Haha… kau pasti bercanda. Sejak kapan aku bisa melakukannya. Kau pikir aku cenayang?” Ucapku kali ini sambil membuka botol air mineral pesanan ulah Anne dan Peter. Kalau benar aku seorang cenayang, tentu saja aku tidak akan seterkejut ini. Tidak perlu menginterogasi kalian berdua, dan sangat mungkin aku tidak akan duduk disini melakukan drama tidak penting ini.

            Aku menghela nafas.

            “Ada apa, Shann?” tanya Anne mengamatiku dengan seksama.

            “Tidak apa-apa.”

            Terus terang aku tidak tahu harus berbicara apa lagi. Aku merasa suasananya semakin lama semakin canggung. Ah, aku ingin pulang. Batinku sejenak. Tapi kalaupun aku pulang sekarang, aku tidak yakin ada hal menyenangkan yang bisa kulakukan.

            Aku memandang pesananku sejenak. “Kurasa makanan kita sudah dingin.”

            Anne menyentuh makanannya dengan telunjuknya. “Hmm, kau benar.”

            Erh… yang benar saja, Anne. Tak perlu menyentuhnya pun sudah terlihat kalau makanan itu sudah dingin, kan? Batinku tidak mengerti.

            “Haha, baiklah, kalian memang serasi.”

Anne tertawa. “Setelah kau hampir meledak mendengar kami menikah, sekarang kau bilang kami serasi?”

“Ya, bagaimana ya aku mengatakannya.” Ucapku dengan gaya ala orangtua bijak yang sedang memberikan restunya. “Sepertinya kalian memang punya lebih banyak kesamaan dari yang kubayangkan.” Sama-sama konyol maksudku.

“Oh ya?” sambung Anne terkekeh.

            Sepertinya aku akan kesepian setelah ini.

            “Ngomong-ngomong, makanannya jadi dingin, tapi bukan berarti tidak bisa dimakan.” Kataku. “Ayo kita makan, Anne.”

            “Baiklah, selamat makan.”  Ucapnya sembari tersenyum.

            Sementara itu aku hanya terdiam sejenak, mencoba mengingat beberapa ucapan yang kupelajari di kelas bahasa Perancis beberapa tahun yang lalu.

            “Ah, bon appetit!” ucapku.

            Gadis itu membulatkan matanya. Sedikit terkejut, namun kemudian tersenyum kembali sembari mengangguk. “Uh-huh.. bon appetit, Shannon.”

            Kami menyantap hidangan kami dengan nikmat.

            Aku tahu saat itu Anne melirikku beberapa kali, tapi aku tidak membalas tatapannya. Sengaja aku berpura-pura tidak tahu dan sibuk menyuapkan makanan ke mulut. Sebab, ketika dua pasang mata bertemu, lumrahnya akan terjadi pembicaraan setelahnya. Lumrahnya. Kalau tidak, pasti akan terasa canggung. Sebenarnya tanpa itupun suasana ini sudah cukup canggung.

            Anne masih menatapku.

            Astaga, jangan memandangku seperti itu, Anne. Pekikku dalam hati. Terus terang, aku tidak tah lagi apa yang harus kubicarakan.

            “Shann…?” panggil Anne memecah keheningan.

            Sial.

            “Kau masih marah padaku?” tanyanya.

            Kali ini aku mendongak, menatap lurus membalas tatapannya. “Hah?”

            “Oh, tidak, aku hanya berpikir kenapa kau mendadak begitu diam hari ini.”

            Itu karena aku tidak punya topik untuk dibicarakan lagi. Batinku. “Ah, maafkan aku. Kurasa aku hanya terlalu fokus dengan makananku. Kau tahu, masakan disini enak sekali. Mendadak aku jadi terpikir bagaimana jika aku tidak bisa mencicipi masakan seperti ini lagi ketika aku sudah pindah.”

            Gadis itu menoleh ke arah piringnya, “Sekarang karena kau mengatakannya, aku jadi merasakan sentimentilnya.”

            “Ugh, ini menyedihkan. Huhu..” sambungnya sambil berlagak menyeka air mata yang bahkan tidak sedikitpun menyembul keluar.

            “Kau berlebihan.” Dasar ratu drama.

            Aku menyuapkan satu lagi potongan kecil ke mulutku. Membiarkan lidahku menari-nari merasakan cita rasa menggelora yang mungkin akan kurindukan tidak lama lagi.

            “Ngomong-ngomong, aku tidak marah padamu.”

            Anne menatapku.

            “Aku serius.” Imbuhku.

            Dia masih menatapku, kali ini sambil menyeruput tehnya yang kuyakin sudah mendingin.

            “Ya, ya, aku tahu kau hanya syok mendengarnya. Kupikir aku pun juga begitu saat mendengar kabar tidak enak yang harusnya sudah kau katakan padaku tempo lalu.”

            “Sudahlah, jangan mulai lagi.” Ucapku tak habis pikir.

            “Oh ya, dimana Peter? Kenapa lama sekali?”

            Anne hanya menggeleng sambil mengangkat bahunya.

“Dasar kau.” Kukira kau calon istrinya. Tunggu, apa sebutan untuk itu? Tunangan ya? “Kau kan bisa bertanya padanya. Tunangan macam apa kau ini.”

“Kau kan tadi lihat dia begitu terburu-buru, mana bisa aku bertanya tadi.”

            Hmph, benar juga. Dia hanya menyuruh kami tetap disini tanpa mengatakan apa-apa lagi, kemudian pergi.

            “Baiklah, apapun yang dia lakukan kuharap dia cepat.”

            Tak begitu lama tapi cukup lama untuk membuat kakiku kesemutan kemudian Peter tiba-tiba datang dengan sebuah kotak.

            “Kau benar-benar payah.” Gerutuku. “Kakiku sampai kesemutan menunggumu, kau bahkan meninggalkan Anne tanpa mengucapkan alasan atau apapun. Calon suami macam apa kau ini.”

            Peter tampak menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum canggung, yang spontan disusul dengan tawa Anne yang menjadi-jadi.

            “Jangan khawatir, Peter. Shannon juga memarahiku seperti ia memarahimu.”

            “Oh ya?” sahutnya.

            “Ya, dia menggerutu panjang lebar lalu mengatakan…” Anne sengaja menjeda kalimatnya, melirik ke arah Peter seolah memberi aba-aba. Kemudian sesuai dugaan tapi tak sesuai keinginanku, mereka melakukannya.

            “Calon istri macam apa kau ini.” Ucap mereka bersamaan kemudian tertawa.
            "Oh, tunggu, kurasa tadi dia tidak menyebut calon istri tapi tunangan." ralat Anne kemudian.

            “Hei!” kataku. Rasanya tidak benar kalau aku yang jadi bahan lawakan kalian berdua. “Hanya karena kalian ditakdirkan menjadi sepasang suami-istri bukan berarti kalian bisa seenaknya bersekongkol seperti itu.”

            Peter mengernyitkan dahinya kemudian kembali tertawa. “Hey, kau tahu, kurasa itu ide bagus. Aku tidak memikirkan itu sebelumnya.”

            Ugh.

            “Bagaimana menurutmu, Anne?” tanya Peter, melirik ke arah Anne. Namun gadis itu tidak merespon dan hanya tertawa.

            “Oh hey, Anne, boleh aku minta izin memukul lengan calon suamimu?”

            Anne diam mengamati, kemudian kembali tersenyum lebar.

            “Baiklah, kenapa tidak.”

            “Hey, hey, kekerasan itu tidak baik.” Sahut pemuda itu mulai memundurkan badannya. “Dan Anne, kenapa kau mengizinkannya?”

            “Hmm…” Anne mengerlingkan matanya. “Selama kita belum resmi menikah, terserah padaku ingin membela siapa. Haha.”

            “Oh… sekarang lihat siapa yang jahat.”

            Aku tertawa. Yap, mereka benar-benar cocok.

            “Ayolah, terima saja. Jangan bilang kau takut pada perempuan.” Ejekku.

            “Bukannya aku takut, Shann. Masalahnya cara memukulmu benar-benar menjiwai. Bisa jadi masalah kalau tanganku sampai kram dan tidak bisa memasak lagi.”

            “Oh, kau bisa memasak?” tanyaku.

            “Tentu saja, kau lupa, kalau setiap Sabtu dan Minggu aku yang menjadi chef disini?”

            Yah, aku melupakan hal itu.

            “Lagipula, kau kan perempuan. Jadi tidak mungkin aku membalas pukulanmu kan?” imbuh Peter. Entah kenapa, semakin aku memandangnya rasanya aku menjadi semakin kesal. Beberapa saat kemudian aku menggertakkan jari-jariku.

            “Anne…” panggilnya seolah meminta bantuan pada Anne.

            Gadis itu kembali tertawa. “Haha, baiklah, baiklah. Hentikan, kalian berdua. Kalian membuat restauran ini semakin gaduh.”

            Batal mendaratkan pukulan ke lengan pemuda menyebalkan itu, sebagai gantinya aku hanya menghela nafas panjang. “Ayolah, aku hanya bercanda.” Kemudian tak begitu lama, bayangan tentang kotak itu berhasil menerobos ke sela-sela pupilku. Membuatku bertanya-tanya apa isinya.

            “Ngomong-ngomong, itu kota yang cukup mengesankan. Apa isinya?” tanyaku.

            “Oh, ini harta karun kami. Kau ingin melihatnya?” tanyanya balik.

            Harta karun? Aku tidak tahu Anne menyimpan harta karun. Kalaupun ada, kukira seharusnya dia memberitahuku terlebih dahulu, kan, alih-alih menyimpannya dengan Peter. Tapi, ya sudahlah, kurasa itu tidak penting sekarang. Aku penasaran apa isinya.

            Peter mendekatkan kotak itu ke arahku, menyisakan hitungan senti dengan batang hidungku. Tapi bukannya membukanya, ia malah tersenyum, membuatku semakin penasaran apa isi di dalamnya. Ayolah! Batinku dalam hati.

            “Kau benar-benar ingin melihatnya?” tanyanya lagi.

            Aku mengangguk.

            “Tapi apa kau bisa berjanji menjaga rahasia di dalamnya setelah kau melihatnya?”

            Rahasia? Astaga, memangnya apa isinya? Emas? Kalung? Berlian? Permata? Tunggu, bagaimana kalau itu sesuatu yang mengerikan? Jangan-jangan itu jebakan? Bagaimana jika ternyata saat dibuka ada katak yang melompat dari dalam? Ah, aku sangat benci katak. Hey, tidak mungkin mereka merencanakan sesuatu, kan? Bagaimana jika aku berteriak setelah melihatnya? Mereka tidak mungkin melakukan sesuatu yang buruk, kan?

            Satu-persatu pertanyaan mulai menjejali isi kepalaku. Semua kemungkinan sekaligus ketakutan yang memungkinkan. Tunggu, bicara apa aku ini. Tidak mungkin mereka memiliki niatan buruk seperti menaruh katak di dalamnya kan? Haha. Hiburku dalam hati.

            Peter tampak memandangiku dengan seksama, menanti sebuah jawaban.

            “Bagaimana?” tanyanya sekali lagi.

            Gulp.

            Ah, sepertinya menelan ludah merupakan mekanisme yang terjadi secara otomatis ketika kau mulai merasa takut atau was-was. Namun tanpa membuang waktu lagi kuputuskan untuk mengangguk walau tak sepenuhnya siap.

            “Baiklah, ini dia.” Ucap Peter, mendekatkan kotak itu kepadaku.

            Dengan perlahan ia mulai membukanya, kemudian… “Waaa!” serunya, membuka dengan cepat kemudian menutupnya kembali sebelum aku sempat melihat apa isinya.

            Nafasku tercekat.

            Aku benci katak! Aku benci katak! Sangat benci katak! Ucapku dalam hati tak henti-hentinya. Untuk beberapa saat kurasa aku hampir meneteskan air mata. Semoga aku tidak terlihat konyol dengan mata berkaca-kaca.

            Anne spontan menepuk lengannya dengan keras. “Bodoh! Lihat apa yang kau lakukan!” dengus Anne marah. “Kau membuatnya takut!”

            Oh, Anne membelaku.

            “Aku tidak tahu dia akan seterkejut itu. Maksudku....”

            “Ck. Diamlah, Peter.” Sela Anne. “Lainkali jangan lakukan itu. Masih syukur dia tidak mengalami trauma ringan.”

            Anne meninggalkan tempatnya kemudian menghampiriku dan memelukku dengan erat.

            “Terimakasih, Anne. Kau terlalu khawatir, lihatlah, aku tidak apa-apa. Aku bahkan tidak bernafsu memarahi Peter.” Ucapku sembari mencoba mengembalikan nafas.

            Kalau kupikir lagi, kurasa itu bukan salah Peter. Kurasa itu salahku. Mungkin aku tidak akan seterkejut ini kalau aku tidak berpikir aneh-aneh.

            “Hehe, maafkan aku, Shannon.” Ucap Peter dengan lugunya. “Aku tidak bermaksud membuatmu sampai seperti itu.”

            “Tak apa. Aku takut dengan sendirinya, itu bukan salahmu.”

            “Jadi kau memaafkanku?”

            Aku memandangnya sejenak.

            “Hey, kau tahu, mendengarmu memintaa maaf membuatku merasa geli. Jadi, hentikan itu, oke?”

            “Baiklah.” Kata Peter.

            Tapi…

            “Tunggu sebentar!” sahut Anne. “Shannon, apa itu kau? Kau tidak tiba-tiba bertukar kepribadian kan?”

            Anne tampak mengamatiku dengan seksama. “Kau tidak demam kan? Apa kau demam?” Imbuhnya kemudian sambil memeriksa keningku.

            Kali ini aku menyentil dahinya.

            “Ouch!”

            “Haha itu pembalasan karena telah menyentil hidungku sebelumnya.” Ucapku penuh kemenangan. “Lagipula apa maksudmu? Kau kira aku gila atau semacamnya?”

            Dan apa-apaan itu dengan berubah kepribadian? Kau kira aku seorang psikopat berkepribadian ganda seperti yang di film-film? Hiih, itu mengerikan. Membayangkannya pun aku tidak sudi.

            “Ya benar.. syukurlah kau tetap seorang Shannon yang kukenal.”

            Aku hanya tertawa, “Sejak kapan kau jadi ibuku?” Peter ikut tertawa.

            Pada akhirnya kami bertiga tertawa.

            “Oke, baiklah, sekarang apa?” tanyaku menyudahi tawa kami.

            Peter kembali menyodorkan kotak itu padaku.

            “Ini untukmu.” Ucapnya enteng.

            Kau pasti bercanda.

            “Kau boleh membukanya, Shannon.” Imbuh Anne.

            Kau juga Anne? “Kalian pasti sudah gila.”

            Peter dan Anne saling berpandangan. “Kenapa? Kau tidak mau membukanya?” tanya Peter.

            “Tidak.”

            “Ugh. Jangan bilang kau mengalami trauma ringan.” Kata Anne yang entah kenapa mulai terlihat was-was.

            Aku mengangkat bahuku. “Mungkin… sedikit.”

            Anne menatap Peter dengan tajam. “Astaga. Peter, ini salahmu.”

            “Hehe, maafkan aku.” Peter tersenyum canggung. Tampak sekali di wajahnya kalau ia mulai merasa bersalah. “Dengar, Shannon. Aku janji di dalamnya tidak seperti yang kau bayangkan. Jadi, kumohon bukalah.”

            Rasanya tidak enak mendengarnya sampai memohon, tapi sayangnya aku masih merasa enggan untuk membukanya.

            “Apapun yang ada di dalamnya, itu untukmu. Kami mempersiapkannya sejak lama. Jadi, tolong terimalah.” Kali ini ganti Anne yang memohon.

            Haaah….

            “Baiklah.” Sekali lagi aku hanya bisa menghela nafas. “Itu karena kalian meminta.”

            Kali ini kalau sampai mereka melakukan sesuatu yang konyol seperti tadi, aku bersumpah akan meninggalkan tempat ini. Kalau terus begini aku bisa kena serangan jantung.

            “Baik, aku siap membukanya.” Ucapku mengumpulkan tekad. “Kemarikan kotaknya!”

            Peter memberikan kotaknya.

            “Ini tidak mungkin seburuk yang kubayangkan… kan?” Haaah… aku harus berhenti membayangkan sesuatu yang tidak-tidak.

            Sambil mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, aku mulai membuka kotaknya. Pelan tapi pasti, sampai aku melihat isi kotaknya. Dimana ternyata isinya memang di luar dugaan tapi setidaknya tidak membuatku kena serangan jantung.

            “Kau pasti bercanda!” pekikku.

(To Be Continued)

1 comment:

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Popular Posts

Quotes Of The Day

Don't Forget To Be Grateful

Mind to Visit?

My Alternate: http://walk-path.blogspot.com/ Friends: http://a-story-to-read.blogspot.com/ http://13thheavenlyparadise.wordpress.com/

About

I'm just an ordinary person who happened to love writting. And here as what the description blog says (although you cannot see it unless you block it) I'll write anything I could regardless whether or not it is important. So, I'll be happy if it can entertain you or perhaps becoming useful for some sort, well somehow and I'm sorry if it couldn't brighten your day. Nevertheless, I also want to thank you for visiting this blog. Thank you very much!


Copyright © From Authors To Readers | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com