STARGAZER
Between Two Stars
by Gita Ardeny
Parte 3
(source : zerochan)
“Oh, tunggu, aku melupakan sesuatu.” Peter tampak merogoh sakunya.
“Kalian berdua tetap
disini, ok? Tunggu disini.”
Tanpa kata, tanpa
kalimat atau alasan lebih lanjut, ia langsung pergi meninggalkan kami begitu
saja. Kadang aku sampai lupa bisa seabsurd apa orang itu.
“Peter dan segala
pikirannya yang tidak kuketahui.” Gumamku.
Anne tertawa. “Oh ya?
Malah kau satu-satunya orang yang kutahu dapat menebak pikiran orang dengan
baik.”
“Haha… kau pasti
bercanda. Sejak kapan aku bisa melakukannya. Kau pikir aku cenayang?” Ucapku
kali ini sambil membuka botol air mineral pesanan ulah Anne dan Peter. Kalau
benar aku seorang cenayang, tentu saja aku tidak akan seterkejut ini. Tidak
perlu menginterogasi kalian berdua, dan sangat mungkin aku tidak akan duduk
disini melakukan drama tidak penting ini.
Aku menghela nafas.
“Ada apa, Shann?” tanya
Anne mengamatiku dengan seksama.
“Tidak apa-apa.”
Terus terang aku tidak
tahu harus berbicara apa lagi. Aku merasa suasananya semakin lama semakin
canggung. Ah, aku ingin pulang. Batinku sejenak. Tapi kalaupun aku pulang
sekarang, aku tidak yakin ada hal menyenangkan yang bisa kulakukan.
Aku memandang pesananku
sejenak. “Kurasa makanan kita sudah dingin.”
Anne menyentuh
makanannya dengan telunjuknya. “Hmm, kau benar.”
Erh… yang benar saja,
Anne. Tak perlu menyentuhnya pun sudah terlihat kalau makanan itu sudah dingin,
kan? Batinku tidak mengerti.
“Haha, baiklah, kalian
memang serasi.”
Anne tertawa. “Setelah kau hampir meledak
mendengar kami menikah, sekarang kau bilang kami serasi?”
“Ya, bagaimana ya aku mengatakannya.” Ucapku
dengan gaya ala orangtua bijak yang sedang memberikan restunya. “Sepertinya
kalian memang punya lebih banyak kesamaan dari yang kubayangkan.” Sama-sama
konyol maksudku.
“Oh ya?” sambung Anne terkekeh.
Sepertinya aku akan
kesepian setelah ini.
“Ngomong-ngomong, makanannya
jadi dingin, tapi bukan berarti tidak bisa dimakan.” Kataku. “Ayo kita makan,
Anne.”
“Baiklah, selamat
makan.” Ucapnya sembari tersenyum.
Sementara itu aku hanya
terdiam sejenak, mencoba mengingat beberapa ucapan yang kupelajari di kelas
bahasa Perancis beberapa tahun yang lalu.
“Ah, bon appetit!” ucapku.
Gadis itu membulatkan
matanya. Sedikit terkejut, namun kemudian tersenyum kembali sembari mengangguk.
“Uh-huh.. bon appetit, Shannon.”
Kami menyantap hidangan
kami dengan nikmat.
Aku tahu saat itu Anne
melirikku beberapa kali, tapi aku tidak membalas tatapannya. Sengaja aku
berpura-pura tidak tahu dan sibuk menyuapkan makanan ke mulut. Sebab, ketika
dua pasang mata bertemu, lumrahnya akan terjadi pembicaraan setelahnya.
Lumrahnya. Kalau tidak, pasti akan terasa canggung. Sebenarnya tanpa itupun
suasana ini sudah cukup canggung.
Anne masih menatapku.
Astaga, jangan
memandangku seperti itu, Anne. Pekikku dalam hati. Terus terang, aku tidak tah
lagi apa yang harus kubicarakan.
“Shann…?” panggil Anne
memecah keheningan.
Sial.
“Kau masih marah
padaku?” tanyanya.
Kali ini aku mendongak,
menatap lurus membalas tatapannya. “Hah?”
“Oh, tidak, aku hanya
berpikir kenapa kau mendadak begitu diam hari ini.”
Itu karena aku tidak
punya topik untuk dibicarakan lagi. Batinku. “Ah, maafkan aku. Kurasa aku hanya
terlalu fokus dengan makananku. Kau tahu, masakan disini enak sekali. Mendadak
aku jadi terpikir bagaimana jika aku tidak bisa mencicipi masakan seperti ini
lagi ketika aku sudah pindah.”
Gadis itu menoleh ke
arah piringnya, “Sekarang karena kau mengatakannya, aku jadi merasakan
sentimentilnya.”
“Ugh, ini menyedihkan.
Huhu..” sambungnya sambil berlagak menyeka air mata yang bahkan tidak
sedikitpun menyembul keluar.
“Kau berlebihan.” Dasar
ratu drama.
Aku menyuapkan satu
lagi potongan kecil ke mulutku. Membiarkan lidahku menari-nari merasakan cita
rasa menggelora yang mungkin akan kurindukan tidak lama lagi.
“Ngomong-ngomong, aku
tidak marah padamu.”
Anne menatapku.
“Aku serius.” Imbuhku.
Dia masih menatapku,
kali ini sambil menyeruput tehnya yang kuyakin sudah mendingin.
“Ya, ya, aku tahu kau
hanya syok mendengarnya. Kupikir aku pun juga begitu saat mendengar kabar tidak
enak yang harusnya sudah kau katakan padaku tempo lalu.”
“Sudahlah, jangan mulai
lagi.” Ucapku tak habis pikir.
“Oh ya, dimana Peter?
Kenapa lama sekali?”
Anne hanya menggeleng
sambil mengangkat bahunya.
“Dasar kau.” Kukira kau calon istrinya.
Tunggu, apa sebutan untuk itu? Tunangan ya? “Kau kan bisa bertanya padanya.
Tunangan macam apa kau ini.”
“Kau kan tadi lihat dia begitu terburu-buru,
mana bisa aku bertanya tadi.”
Hmph, benar juga. Dia
hanya menyuruh kami tetap disini tanpa mengatakan apa-apa lagi, kemudian pergi.
“Baiklah, apapun yang
dia lakukan kuharap dia cepat.”
Tak begitu lama tapi
cukup lama untuk membuat kakiku kesemutan kemudian Peter tiba-tiba datang
dengan sebuah kotak.
“Kau benar-benar payah.”
Gerutuku. “Kakiku sampai kesemutan menunggumu, kau bahkan meninggalkan Anne
tanpa mengucapkan alasan atau apapun. Calon suami macam apa kau ini.”
Peter tampak
menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum canggung, yang spontan disusul
dengan tawa Anne yang menjadi-jadi.
“Jangan khawatir,
Peter. Shannon juga memarahiku seperti ia memarahimu.”
“Oh ya?” sahutnya.
“Ya, dia menggerutu
panjang lebar lalu mengatakan…” Anne sengaja menjeda kalimatnya, melirik ke
arah Peter seolah memberi aba-aba. Kemudian sesuai dugaan tapi tak sesuai
keinginanku, mereka melakukannya.
“Calon istri macam apa
kau ini.” Ucap mereka bersamaan kemudian tertawa.
"Oh, tunggu, kurasa tadi dia tidak menyebut calon istri tapi tunangan." ralat Anne kemudian.
"Oh, tunggu, kurasa tadi dia tidak menyebut calon istri tapi tunangan." ralat Anne kemudian.
“Hei!” kataku. Rasanya
tidak benar kalau aku yang jadi bahan lawakan kalian berdua. “Hanya karena
kalian ditakdirkan menjadi sepasang suami-istri bukan berarti kalian bisa
seenaknya bersekongkol seperti itu.”
Peter mengernyitkan
dahinya kemudian kembali tertawa. “Hey, kau tahu, kurasa itu ide bagus. Aku
tidak memikirkan itu sebelumnya.”
Ugh.
“Bagaimana menurutmu,
Anne?” tanya Peter, melirik ke arah Anne. Namun gadis itu tidak merespon dan
hanya tertawa.
“Oh hey, Anne, boleh
aku minta izin memukul lengan calon suamimu?”
Anne diam mengamati,
kemudian kembali tersenyum lebar.
“Baiklah, kenapa tidak.”
“Hey, hey, kekerasan
itu tidak baik.” Sahut pemuda itu mulai memundurkan badannya. “Dan Anne, kenapa
kau mengizinkannya?”
“Hmm…” Anne
mengerlingkan matanya. “Selama kita belum resmi menikah, terserah padaku ingin
membela siapa. Haha.”
“Oh… sekarang lihat
siapa yang jahat.”
Aku tertawa. Yap,
mereka benar-benar cocok.
“Ayolah, terima saja.
Jangan bilang kau takut pada perempuan.” Ejekku.
“Bukannya aku takut,
Shann. Masalahnya cara memukulmu benar-benar menjiwai. Bisa jadi masalah kalau
tanganku sampai kram dan tidak bisa memasak lagi.”
“Oh, kau bisa memasak?”
tanyaku.
“Tentu saja, kau lupa,
kalau setiap Sabtu dan Minggu aku yang menjadi chef disini?”
Yah, aku melupakan hal
itu.
“Lagipula, kau kan
perempuan. Jadi tidak mungkin aku membalas pukulanmu kan?” imbuh Peter. Entah
kenapa, semakin aku memandangnya rasanya aku menjadi semakin kesal. Beberapa
saat kemudian aku menggertakkan jari-jariku.
“Anne…” panggilnya
seolah meminta bantuan pada Anne.
Gadis itu kembali
tertawa. “Haha, baiklah, baiklah. Hentikan, kalian berdua. Kalian membuat
restauran ini semakin gaduh.”
Batal mendaratkan
pukulan ke lengan pemuda menyebalkan itu, sebagai gantinya aku hanya menghela
nafas panjang. “Ayolah, aku hanya bercanda.” Kemudian tak begitu lama, bayangan
tentang kotak itu berhasil menerobos ke sela-sela pupilku. Membuatku
bertanya-tanya apa isinya.
“Ngomong-ngomong, itu
kota yang cukup mengesankan. Apa isinya?” tanyaku.
“Oh, ini harta karun
kami. Kau ingin melihatnya?” tanyanya balik.
Harta karun? Aku tidak
tahu Anne menyimpan harta karun. Kalaupun ada, kukira seharusnya dia memberitahuku
terlebih dahulu, kan, alih-alih menyimpannya dengan Peter. Tapi, ya sudahlah,
kurasa itu tidak penting sekarang. Aku penasaran apa isinya.
Peter mendekatkan kotak
itu ke arahku, menyisakan hitungan senti dengan batang hidungku. Tapi bukannya
membukanya, ia malah tersenyum, membuatku semakin penasaran apa isi di
dalamnya. Ayolah! Batinku dalam hati.
“Kau benar-benar ingin
melihatnya?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
“Tapi apa kau bisa
berjanji menjaga rahasia di dalamnya setelah kau melihatnya?”
Rahasia? Astaga,
memangnya apa isinya? Emas? Kalung? Berlian? Permata? Tunggu, bagaimana kalau
itu sesuatu yang mengerikan? Jangan-jangan itu jebakan? Bagaimana jika ternyata
saat dibuka ada katak yang melompat dari dalam? Ah, aku sangat benci katak. Hey,
tidak mungkin mereka merencanakan sesuatu, kan? Bagaimana jika aku berteriak
setelah melihatnya? Mereka tidak mungkin melakukan sesuatu yang buruk, kan?
Satu-persatu pertanyaan
mulai menjejali isi kepalaku. Semua kemungkinan sekaligus ketakutan yang
memungkinkan. Tunggu, bicara apa aku ini. Tidak mungkin mereka memiliki niatan
buruk seperti menaruh katak di dalamnya kan? Haha. Hiburku dalam hati.
Peter tampak
memandangiku dengan seksama, menanti sebuah jawaban.
“Bagaimana?” tanyanya
sekali lagi.
Gulp.
Ah, sepertinya menelan
ludah merupakan mekanisme yang terjadi secara otomatis ketika kau mulai merasa
takut atau was-was. Namun tanpa membuang waktu lagi kuputuskan untuk mengangguk
walau tak sepenuhnya siap.
“Baiklah, ini dia.” Ucap
Peter, mendekatkan kotak itu kepadaku.
Dengan perlahan ia
mulai membukanya, kemudian… “Waaa!” serunya, membuka dengan cepat kemudian
menutupnya kembali sebelum aku sempat melihat apa isinya.
Nafasku tercekat.
Aku benci katak! Aku
benci katak! Sangat benci katak! Ucapku dalam hati tak henti-hentinya. Untuk
beberapa saat kurasa aku hampir meneteskan air mata. Semoga aku tidak terlihat
konyol dengan mata berkaca-kaca.
Anne spontan menepuk
lengannya dengan keras. “Bodoh! Lihat apa yang kau lakukan!” dengus Anne marah.
“Kau membuatnya takut!”
Oh, Anne membelaku.
“Aku tidak tahu dia
akan seterkejut itu. Maksudku....”
“Ck. Diamlah, Peter.” Sela
Anne. “Lainkali jangan lakukan itu. Masih syukur dia tidak mengalami trauma
ringan.”
Anne meninggalkan
tempatnya kemudian menghampiriku dan memelukku dengan erat.
“Terimakasih, Anne. Kau
terlalu khawatir, lihatlah, aku tidak apa-apa. Aku bahkan tidak bernafsu
memarahi Peter.” Ucapku sembari mencoba mengembalikan nafas.
Kalau kupikir lagi,
kurasa itu bukan salah Peter. Kurasa itu salahku. Mungkin aku tidak akan
seterkejut ini kalau aku tidak berpikir aneh-aneh.
“Hehe, maafkan aku,
Shannon.” Ucap Peter dengan lugunya. “Aku tidak bermaksud membuatmu sampai
seperti itu.”
“Tak apa. Aku takut
dengan sendirinya, itu bukan salahmu.”
“Jadi kau memaafkanku?”
Aku memandangnya
sejenak.
“Hey, kau tahu,
mendengarmu memintaa maaf membuatku merasa geli. Jadi, hentikan itu, oke?”
“Baiklah.” Kata Peter.
Tapi…
“Tunggu sebentar!”
sahut Anne. “Shannon, apa itu kau? Kau tidak tiba-tiba bertukar kepribadian
kan?”
Anne tampak mengamatiku
dengan seksama. “Kau tidak demam kan? Apa kau demam?” Imbuhnya kemudian sambil
memeriksa keningku.
Kali ini aku menyentil
dahinya.
“Ouch!”
“Haha itu pembalasan
karena telah menyentil hidungku sebelumnya.” Ucapku penuh kemenangan. “Lagipula
apa maksudmu? Kau kira aku gila atau semacamnya?”
Dan apa-apaan itu
dengan berubah kepribadian? Kau kira aku seorang psikopat berkepribadian ganda
seperti yang di film-film? Hiih, itu mengerikan. Membayangkannya pun aku tidak
sudi.
“Ya benar.. syukurlah
kau tetap seorang Shannon yang kukenal.”
Aku hanya tertawa, “Sejak
kapan kau jadi ibuku?” Peter ikut tertawa.
Pada akhirnya kami
bertiga tertawa.
“Oke, baiklah, sekarang
apa?” tanyaku menyudahi tawa kami.
Peter kembali
menyodorkan kotak itu padaku.
“Ini untukmu.” Ucapnya
enteng.
Kau pasti bercanda.
“Kau boleh membukanya,
Shannon.” Imbuh Anne.
Kau juga Anne? “Kalian
pasti sudah gila.”
Peter dan Anne saling
berpandangan. “Kenapa? Kau tidak mau membukanya?” tanya Peter.
“Tidak.”
“Ugh. Jangan bilang kau
mengalami trauma ringan.” Kata Anne yang entah kenapa mulai terlihat was-was.
Aku mengangkat bahuku. “Mungkin…
sedikit.”
Anne menatap Peter
dengan tajam. “Astaga. Peter, ini salahmu.”
“Hehe, maafkan aku.”
Peter tersenyum canggung. Tampak sekali di wajahnya kalau ia mulai merasa
bersalah. “Dengar, Shannon. Aku janji di dalamnya tidak seperti yang kau bayangkan.
Jadi, kumohon bukalah.”
Rasanya tidak enak
mendengarnya sampai memohon, tapi sayangnya aku masih merasa enggan untuk
membukanya.
“Apapun yang ada di
dalamnya, itu untukmu. Kami mempersiapkannya sejak lama. Jadi, tolong
terimalah.” Kali ini ganti Anne yang memohon.
Haaah….
“Baiklah.” Sekali lagi
aku hanya bisa menghela nafas. “Itu karena kalian meminta.”
Kali ini kalau sampai
mereka melakukan sesuatu yang konyol seperti tadi, aku bersumpah akan
meninggalkan tempat ini. Kalau terus begini aku bisa kena serangan jantung.
“Baik, aku siap
membukanya.” Ucapku mengumpulkan tekad. “Kemarikan kotaknya!”
Peter memberikan
kotaknya.
“Ini tidak mungkin
seburuk yang kubayangkan… kan?” Haaah… aku harus berhenti membayangkan sesuatu
yang tidak-tidak.
Sambil mempersiapkan
diri untuk kemungkinan terburuk, aku mulai membuka kotaknya. Pelan tapi pasti,
sampai aku melihat isi kotaknya. Dimana ternyata isinya memang di luar dugaan
tapi setidaknya tidak membuatku kena serangan jantung.
“Kau pasti bercanda!”
pekikku.
…
(To Be Continued)
Kau pasti bercanda, wkwk
ReplyDelete