STARGAZER
BETWEEN TWO STARS
(PART 4)
(Source picture: Zerochan)
“Kau pasti bercanda!” pekikku.
“Hm, apakah terlihat seperti sebuah candaan
untukmu?”
“Ya… Ya! Ya!” sahutku mendadak tak bisa
berkata-kata. “Ya! Kau pasti bercanda!” ucapku lagi, tak dapat menyembunyikan
raut wajah bahagia yang terlanjur terukir apik begitu saja.
“Senang melihatmu sebahagia itu.” Ucap Anne.
Dan aku lebih senang lagi.
“Kau tak mau mencobanya?” tanya Anne lembut.
Tak mau mencobanya? Haha. Kau pasti bercanda!
Tentu saja aku mau mencobanya, sangat malah.
“Sebelum mencobanya, aku harus memastikan
bahwa semua bagiannya berfungsi dengan baik.” Ucapku.
“Dan kau bisa mengetahuinya dengan cara
mengambil gambar, kan?” balas Peter.
“Tidak, tidak secepat itu.” Kataku sambil
mengamati kamera di genggamanku itu.
Peter mengernyitkan dahinya, tergambar jelas
di wajahnya ekspresi tidak mengerti dengan apa yang sedang kulakukan. Ia
kemudian menoleh ke arah Anne. Anne hanya menggeleng pelan. Mereka berdua
tersenyum, kemudian membicarakan sesuatu yang lain. Melihat itu, aku hanya bisa
menghela nafas. Ah, dasar calon pasangan hidup. Batinku tidak habis pikir.
Haruskah mereka mengumbar kemesraan di depanku. Eww…
Aku mengamati kameraku untuk kesekian kali.
Kurasa kertasnya sudah dimasukkan dan sepertinya ini tombol untuk memotret,
gumamku dalam hati. Perlahan tanpa disadari, aku mengarahkan kameraku ke arah
sepasang kekasih calon suami-istri di depanku. Sepintas aku hanya ingin mencoba
benda ini, namun tiba-tiba sedikit pemikiran usil hinggap di kepala. Kurasa
tidak ada salahnya menjahili keduanya sesekali. Anggap saja ini kejahilan
terakhir sebelum takdir memisahkan kami. Kalau dipikir-pikir akan sangat sulit
sekali bertemu dengan mereka berdua setelah ini.
Huft, aku tidak ingin membayangkan hal itu
dulu. Pikirku.
“Hey, kalian berdua!” panggilku. Spontan Peter
dan Anne menoleh ke arahku, lalu…
Ckrek!
Selembar kertas agak tebal pun keluar diiringi
dengan wajah-wajah protes yang sedang melayangkan gugatan padaku. Aku mengambil
kertas itu.
“Siapa suruh kalian bermesraan di depanku.”
Ucapku dengan nada tidak peduli sambil mengibas-ngibaskan kertas tersebut.
“Dengar ya, kalian dilarang bermesraan,
berduaan, ataupun sekedar terlihat dekat di depanku sampai kalian benar-benar
resmi menikah.”
“Berduaan? Tapi kami tidak hanya berdua.”
Tukas Peter. “Lihat, ada banyak orang disini. Ada kau dan pengunjung lain disini.”
“Aku tidak peduli.” Kataku sambil terus
menyaksikan kertas yang kukibas-kibaskan itu perlahan mulai berubah dan
menampakkan gambar hasil jepretan tadi.
“Hey, tidak buruk.” Kataku kemudian.
Anne mencondongkan badannya, tampak tertarik.
“Biar kulihat.”
“Ini.” Aku menyodorkan foto itu ke Anne.
Gadis itu tertawa. “Lihat wajahmu, Pete!”
ejeknya. “Haha, lihat ekspresimu yang begitu memalukan!”
Peter hanya tersenyum sambil menggaruk
kepalanya.
“Aku akan menyimpannya.” Kataku kemudian.
“Bagaimana dengan kami?” tanya Anne. “Kau
tidak ingin memberi kami sesuatu untuk dikenang?”
“Hmm..” Aku berpikir sejenak.
“Baiklah.” Kataku kemudian.
Tanpa aba-aba, aku menarik tangan Peter,
mendekatkannya ke arah Anne. Aku tidak yakin apa ini akan muat di frame, tapi
tidak ada salahnya untuk mencoba. Setelah merasa cukup dekat, aku pun berdiri
di tengah sambil mengarahkan kamera yang kupegang ke arah kami.
“Lihat ke kamera ya..” kataku.
“Hmm.. apa kita tidak sebaiknya mengatakan cheese?” tanya Peter.
Ah, kalian ini banyak maunya. Batinku. Ya, ada
benarnya juga kata laki-laki itu. Cheese?
Tidak, tidak, kata itu sudah terlalu sering digunakan. Entah kenapa aku ingin
menggunakan kata lain yang dapat membuat semua huru-hara tidak jelas yang
terjadi hari ini semakin berkesan. Satu kata yang membuat hari ini pantas
dikenang.
“Baiklah, aku ada ide, tapi kalian jangan
tertawa mendengarnya.” Ucapku.
“Ide apa itu, Shannon?” tanya Anne.
“Hmm ya, jadi ini..” aku menjeda kalimatku,
menghembuskan nafas sejenak. “Anggap saja ini permintaanku, okay?”
“Kau membuatnya terdengar seperti permintaan
terakhir. Kau berencana untuk mati atau bagaimana?” celetuk Peter.
“Hey!”
“Pete…” lerai Anne. Peter terkekeh sambil
meminta maaf. “Baiklah, yang mulai Ratu Drama, permintaan apa yang Anda ingin
kami untuk penuhi?”
“Ah, kau tak ada bedanya Anne.” Dengusku
kesal.
“Jadi?”
“Aku yakin akan merindukan kalian dan.. uhh…
aku ingin membuat momen ini berkesan. Jadi, aku ingin kita berfoto sambil
mengucapkan family. Bagaimana menurut
kalian?”
Peter dan Anne saling berpandangan kemudian
tersenyum.
“Baiklah.” Kata Peter, kali ini tidak
melontarkan kalimat ejekan atau apapun lainnya. Tanpa bicarapun aku tahu apa
yang ada di dalam isi otaknya. Pasti dia sedang mengolokku, berpikir bagaimana
aku begitu mendramatisir suasana yang ada.
Memikirkannya kadang membuatku jengkel, tapi
dia benar. Yup, aku memang Ratu Drama. Terima saja fakta itu.
“Kemarikan kameranya, Shan, aku yang akan
mengambil foto.” Ucap Peter.
“Tunggu, kau harus ikut!”
“Ah, maksudku aku yang akan membawakan
kameranya. Secara, jangkauan tanganku lebih panjang darimu.”
“Oh, oke.” Balasku. Aku memberikan kamera itu
seraya menjelaskan beberapa hal yang harus dia ketahui.
“Baiklah, aku mengerti.”
Aku berdiri di antara keduanya.
“Sudah siap?” tanya Peter.
Aku mengangguk.
Rasanya agak canggung. Aku tidak tahu harus
berpose seperti apa. Apakah berdiri biasa seperti ini akan membuat hasilnya
bagus? Ah, aku tidak tahu.
“Jangan lupa tersenyum, Shan!” ucap Anne
seraya merangkulku erat. Tidak hanya Anne, tanpa kusangka-sangka Peter ikut
merangkulku.
Hahaha.. apa ini? Batinku. Suasana ini begitu…
“Ucapkan kata ajaibnya, Nona-nona!” seru
Peter.
“FAMILYYY!!!!”
Ckrek!
Sesaat setelah terdengar suara jepretan,
selembar kertas berisi siluet kami bertiga akhirnya keluar. Siluet di momen
yang akan kami rindukan di kemudian hari.
Aku mengibaskan kertas tersebut sesaat.
“Bagus.” Kataku mengagumi hasil gambarnya.
… hangat. Aku tidak ingin melupakan momen ini.
...
Di rumah,
“Shannon!!” panggil ibu
dari ruang tengah.
“Aku di kamar, bu!”
jawabku setengah berteriak agar ibu bisa mendengarku.
Aku mendengar suara
langkah kaki yang semakin mendekat sampai ke ambang pintu. “Masuklah, bu,
pintunya tidak ku kunci!” kataku kemudian.
Ibu mendekat, mengelus
puncak kepalaku sebelum memberikan satu kecupan hangat. Kadang aku ingin mengatakan
padanya bahwa aku bukan anak kecil lagi. Tapi aku mengurungkan niatku. Biarlah,
toh aku tidak membencinya. Pikirku.
“Apa yang anak ibu
sedang lakukan?” tanyanya penasaran melihatku terpaku di depan layar komputer.
“Ini?” balasku. “Aku
sedang memindahkan beberapa file.”
“Hmm...”
Ah, mumpung ibu disini,
aku ingin menunjukkan beberapa hal. Dengan cepat aku membuka beberapa folder
kemudian menunjukkan gambar hasil jepretan hari ini.
“Bu, bagus tidak?”
tanyaku.
“Oh, gambar yang
menakjubkan! Kapan kau mengambilnya?”
“Tadi siang, di depan
restauran paman James.”
Kemudian aku
menceritakan seluruh hal yang terjadi hari ini. Bagaimana aku yang berniat
pamitan pada Anne justru mendapat kabar mengejutkan bahwa ia akan menikah dan melanjutkan
hidup di Perancis, bagaimana Peter mengerjaiku hingga hampir saja rasanya aku
kena serangan jantung, bagaimana mereka memberiku sebuah kado perpisahan
beserta momen berharga untuk dikenang.
“Kau memiliki
teman-teman yang baik.” Ucap ibu dengan lembut.
“Aku tahu. Mereka
memang yang terbaik.”
Ibu kemudian
memperhatikan sekitar. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan persiapanmu? Aku
tidak melihat adanya koper atau-..”
“Bu.” Panggilku,
memotong. “Tenanglah, aku sudah mencatat semua yang kubutuhkan disini.” Kataku sambil
menunjukkan notebook kecil yang
hampir selalu kubawa kemanapun aku pergi.
“Baiklah…” ucap ibu,
walau aku tahu ada suatu kekhawatiran tersembunyi di balik nada bicaranya.
“Lagipula, aku belum
akan berangkat ke sana kan? Jadi, tidak perlu buru-buru. Aku masih punya waktu
beberapa minggu.”
Ibu memandangku
sejenak. “Kau benar.” Ibu menghela nafas panjang kemudian beranjak.
“Ibu sudah menyiapkan
makan malam. Kau jangan terlalu lama di dalam kamar dan jangan lupa makan.” Ucap
Ibu seraya melangkahkan kaki keluar kamar.
Sesaat ketika ibu
melangkahkan kaki keluar, “bu..” panggilku, menghentikan langkah kakinya. “Ada
apa?” tanyaku kemudian.
“Apa maksudmu, sayang?”
“Entahlah. Aku hanya
merasa ibu tampak sedikit berbeda hari ini.” Jawabku.
Ibu tersenyum. “Hahaha,
tidak ada apa-apa, sayang. Kenapa jadi kamu yang mengkhawatirkan ibu?”
Aku mengangkat bahuku.
“Kenapa? Ada apa?”
tanyaku lagi.
Perempuan yang sudah
kukenal lama sepanjang hidup itu kembali tersenyum sembari menatapku dengan
syahdu. “Tidak apa-apa.” Jawabnya, mengulang jawaban sebelumnya.
“Kadang ibu hanya lupa
kalau kau sudah besar.”
Ah..
“Ibu ingin aku jadi
anak kecil selamanya? Tak masalah untukku.”
“Haha, tidak usah. Kau
hanya akan merepotkan ibu saja.” Ibu tertawa.
“Cepatlah turun dan
makan makananmu sebelum dingin!” Ibu menyudahi pembicaraan kami dengan sebuah
perintah.
“Nanti, 15 menit lagi.”
“Sekarang!” jawab ibu
sambil berlalu.
“10 menit lagi!” seruku
“5 menit dan pelankan
suaramu, jangan berteriak!” ucap ibu, menyuruhku berhenti berteriak padahal dia
sendiri setengah berteriak.
“Baiklah!!” seruku.
Aku merebahkan badanku
di kasur, memejamkan mata sejenak. “Ah, aku ingin tidur saja. Tapi nanti ibu
pasti mengomel kalau aku tidak makan.” Keluhku.
Namun jika
dipikir-pikir, seharusnya aku tidak menyia-nyiakan momen-momen menikmati
masakan ibu. Karena sebentar lagi aku akan meninggalkan rumah ini, yang artinya
aku tidak akan menikmati masakan ibu lagi. Aku tidak tahu apakah masakan disana
akan cocok di lidahku. Bagaimana jika tidak seenak masakan disini? Bagaimana
jika tidak seenak masakan ibu?
Tunggu, bicara apa aku
ini. Tentu saja tidak ada yang bisa mengalahkan cita rasa masakan ibu! Batinku
sambil mendengus.
“Ah, aku tidak ingin
meninggalkan tempat ini. Aku pasti akan sangat merindukannya.” Ucapku pada diri
sendiri.
Kadang aku ingin tahu
apakah aku saja yang berlebihan ataukah semua orang pasti akan merasakan perasaan
yang begitu haru-biru sesaat sebelum akhirnya mereka meninggalkan rumah? Aku
ingin tahu apakah ayah dan ibu juga akan merasakan hal yang sama mengetahui aku
akan tinggal jauh dari mereka?
Aku jadi khawatir. Apa
mereka akan baik-baik saja?
“Aarrgghhh… aku tidak
suka berpikiran seperti ini.” Ucapku, bangkit dari tempat tidur.
“Mungkin ini efek
lapar. Sebaiknya aku makan saja.”
Aku memutuskan keluar
dari kamar dan bergegas menuju ruang makan. Disana, aku melihat ibu dan adik
perempuanku sudah duduk manis menyantap makanan mereka.
“Kau lama sekali di
dalam kamar, jadinya kami makan duluan.” Sambut ibu sambil mengambilkan stik
daging ke piringku.
“Apa sih yang kau
lakukan di dalam kamar, kak? Bertapa? Kalau ingin jadi petapa, mungkin
sebaiknya kau pergi ke gunung saja, bukan ke Amerika.” Kata gadis kecil, yang
kalau bukan adikku mungkin sudah kuikat di dalam gudang saking menyebalkannya
ia kadang-kadang.
“Haha, lucu sekali.
Memangnya kau mau punya kakak seorang petapa?” kataku, menggoda. “Mungkin aku
akan menjadi petapa berbulu lebat. Sepanjang tubuhku akan ditumbuhi bulu
panjang, lebat, dan bau. Bahkan nanti bulu ketiakku akan tumbuh panjang
sepanjang tumit. Lalu…”
“YUCK!!!” pekik adikku.
“Bu!!! Kakak jorok sekali!!!”
Hahaha. Rasakan itu!
Aku yakin selera makanmu turun setelah mendengar hal itu.
“Hush, Shannon! Mana
etikamu di meja makan?!” Ibu mengomel dengan sarkas.
“Maaf bu. Aku akan
diam.” Kataku begitu enteng sambil menyuapkan makanan ke mulutku.
Aku melihat ke arah
adikku, mendapatinya sedang menggembungkan pipi melihati makanan di piringnya.
“Bu, aku sudah kenyang.”
Katanya beralasan.
“Tidak boleh, harus
dihabiskan!” titah ibu.
“Aku sudah kenyang, bu!”
“Jangan beralasan. Kau
bahkan baru memakannya beberapa suap.”
“Uhhh…”
“Cheryl!” kali ini ibu
mengarahkan tatapan tajamnya ke gadis malang itu. “Habiskan!” perintahnya hanya
dengan satu kata.
“Gara-gara kakak, aku
jadi tidak selera makan dan dimarahi ibu.” Gerutunya.
Aku melihat ke arahnya. Matanya tampak
berkaca-kaca. Gadis malang, aku jadi merasa bersalah dibuatnya.
“Baiklah, aku minta maaf. Sekarang habiskan
makananmu.” Kataku.
Ia menyantap makanannya dengan setengah hati.
Ah, dasar anak kecil. Pintar sekali membuat
orang jadi tidak enak hati. Batinku, masih dengan perasaan bersalah.
“Hey, apa kau tahu di restauran Paman James
juga menyediakan menu es krim?” tanyaku. Cheryl hanya memandang ke arahku,
seperti bunga layu.
“Bagaimana jika besok siang aku membawamu
kesana?”
Seketika wajah gadis berbinar. “Sungguh?”
“Iya.” Jawabku. “Kapan aku berbohong padamu?”
Pertanyaan bodoh, Shannon. Pertanyaan yang
sangat bodoh. Seketika saja gadis itu berubah menjadi seperti rekaman radio
butut yang siap mengulang-ngulang seluruh isi rekamannya.
“Dulu kau bilang akan memberiku hadiah ulang
tahun, tapi di hari ulang tahunku kau malah tidak memberikan apapun. Waktu itu
juga kau bilang akan menemaniku membuat bola salju, tapi kau malah pergi
berseluncur bersama Anne. Dan.. dan..”
“Astagaaa kau masih saja mengingatnya. Aku kan
sudah minta maaf. Sudah kubilang kan, saat itu aku hanya lupa.” Kataku. “Lagipula,
aku kan sudah menggantinya di hari lain.”
“Tapi…”
“Besok aku tidak akan lupa.” Kataku kemudian.
“Kau janji?” tanyanya.
“Iya, aku janji. Tapi kau juga harus
mengingatkanku, ya.”
Cheryl tersenyum sambil menyodorkan
kelingkingnya. “Janji kelingking.”
“Janji kelingking.” Balasku sambil menyatukan
kelingking kami. “Tapi kau harus habiskan makanan malammu, ya. Aku tidak mau
membawamu kesana kalau kau tidak habiskan makananmu.”
“Itu mudah!” ucapnya percaya diri.
Lalu entah bagaimana ide konyolku itu bisa
berhasil, ia tampak gembira dan kembali menyantap makanannya dengan lahap.
Senang juga melihatnya gembira seperti itu, yang entah kenapa membuat selera
makanku ikut meningkat.
“Jangan terlalu sering memanjakannya dengan
cara seperti itu, dia bisa meminta lebih.” Bisik ibu, tersenyum.
“Haha, tidak apa bu. Lagipula aku memang
berniat ingin menghabiskan waktu dengannya.”
Ibu menjeda makannya sesaat. Memperhatikanku
sejenak, kemudian menyentuh lembut pipiku. “Kakak yang baik.”
“Hehe.” Aku tersenyum.
Tiba-tiba ibu mencubitku. “Ayo, cepat habiskan
dan tambah lagi makanannya. Kau harus makan yang banyak.”
“Iyaaa…”
Beberapa lama kemudian, kami selesai menyantap
hidangan makan malam kami. Seperti biasa, Cheryl langsung menghambur pergi
meninggalkan piring bekasnya sementara aku harus membantu ibu merapikan kembali
meja makan.
“Ah, anak itu.” Dengusku.
“Tak apa. Nanti juga dia akan belajar saat kau
sudah tidak di rumah.”
Aku mengernyitkan dahiku. “Bu, berhentilah
bicara begitu, seolah-olah kau ingin aku cepat pergi saja.”
“Haha, bukan begitu, sayang. Malah kalau bisa,
ibu ingin kamu tidak usah pergi.”
“Oh benarkah?” aku terkejut mendengar jawaban
ibu.
“Iya, nanti rumah ini akan jadi lebih sepi
saat kamu pergi.”
Hmm.. sepertinya begitu. Secara, siapa lagi
yang akan mengusili si adik kecil sampai merengek berteriak kalau bukan aku di
rumah ini.
“Tapi di sisi lain akan jadi lebih damai.” Imbuh
ibu tiba-tiba.
“Ah, ibu.”
Ibu tertawa. “Hanya bercanda, sayang. Ibu
yakin Cheryl juga akan merindukanmu.”
Si Tuan Putri kecil itu? Tentu saja.
“Ngomong-ngomong, ayah lembur lagi, bu?”
“Tidak, ayahmu di atas.”
“Ayah sudah pulang? Kenapa tadi tidak makan
malam dengan kita?”
“Ayahmu bilang sedang ingin mengerjakan
sesuatu.”
Mengerjakan apa? Tugas kantor? Tumben sekali
ayah membawa pulang pekerjaan kantor. Apa kantor mulai sibuk lagi? Ah, meski
begitu seharusnya itu tidak menjadikan alasan untuk melewatkan makan malam.
Kalau saja itu aku yang sedang mengerjakan tugas di kamar mungkin sudah kena
marah berkali-kali. Ketidakadilan macam apa ini.
“Aku akan mengganggunya.” Kataku seenaknya.
“Kau mau menemui ayah di atas?” tanya ibu.
“Yup. Aku ingin mengobrol sedikit dengannya.”
“Tunggu sebentar.” Kata ibu. Ia tampak
mengambilkan piring dan menyiapkan seporsi makanan untuk Ayah. “Bawakan ini
sekalian. Ibu yakin Ayahmu pasti lapar.”
“Baik, bu.”
Aku bergegas ke atas sambil membawakan makan
malam untuk ayah.
Kalau ibu bilang di atas, berarti ayah pasti
sedang di ruangan ini. Bakal mengganggu tidak ya? Ah, sudahlah. Aku mengetok
pintunya dan mendengar ayah merespon. “Masuklah, Nak!”
“Hai, Yah! Ini, ibu menyuruhku membawakan
makanan untukmu. Ayah pasti lapar karena belum makan dari tadi.
“Ah, pas sekali. Taruh dulu saja.”
Aku menaruh makanan itu di atas meja.
“Jadi… sedang apa, Yah?” tanyaku.
...
(To be continued)
Author's Note:
- sorry took long enough to continue this part. I must admit that somehow I forgot what's this story is about and how things will turn out from part 3. But somehow, i'll make it work. Truly sorry for the late post.
0 komentar:
Post a Comment