apapun yang bisa author tulis untuk readers.

Sunday, July 7, 2019

STARGAZER: Between Two Stars (Part 4)

STARGAZER

BETWEEN TWO STARS

(PART 4)


(Source picture: Zerochan)


“Kau pasti bercanda!” pekikku.
“Hm, apakah terlihat seperti sebuah candaan untukmu?”
“Ya… Ya! Ya!” sahutku mendadak tak bisa berkata-kata. “Ya! Kau pasti bercanda!” ucapku lagi, tak dapat menyembunyikan raut wajah bahagia yang terlanjur terukir apik begitu saja.
“Senang melihatmu sebahagia itu.” Ucap Anne.
Dan aku lebih senang lagi.
“Kau tak mau mencobanya?” tanya Anne lembut.
Tak mau mencobanya? Haha. Kau pasti bercanda! Tentu saja aku mau mencobanya, sangat malah.
“Sebelum mencobanya, aku harus memastikan bahwa semua bagiannya berfungsi dengan baik.” Ucapku.
“Dan kau bisa mengetahuinya dengan cara mengambil gambar, kan?” balas Peter.
“Tidak, tidak secepat itu.” Kataku sambil mengamati kamera di genggamanku itu.
Peter mengernyitkan dahinya, tergambar jelas di wajahnya ekspresi tidak mengerti dengan apa yang sedang kulakukan. Ia kemudian menoleh ke arah Anne. Anne hanya menggeleng pelan. Mereka berdua tersenyum, kemudian membicarakan sesuatu yang lain. Melihat itu, aku hanya bisa menghela nafas. Ah, dasar calon pasangan hidup. Batinku tidak habis pikir. Haruskah mereka mengumbar kemesraan di depanku. Eww…
Aku mengamati kameraku untuk kesekian kali. Kurasa kertasnya sudah dimasukkan dan sepertinya ini tombol untuk memotret, gumamku dalam hati. Perlahan tanpa disadari, aku mengarahkan kameraku ke arah sepasang kekasih calon suami-istri di depanku. Sepintas aku hanya ingin mencoba benda ini, namun tiba-tiba sedikit pemikiran usil hinggap di kepala. Kurasa tidak ada salahnya menjahili keduanya sesekali. Anggap saja ini kejahilan terakhir sebelum takdir memisahkan kami. Kalau dipikir-pikir akan sangat sulit sekali bertemu dengan mereka berdua setelah ini.
Huft, aku tidak ingin membayangkan hal itu dulu. Pikirku.
“Hey, kalian berdua!” panggilku. Spontan Peter dan Anne menoleh ke arahku, lalu…
Ckrek!
Selembar kertas agak tebal pun keluar diiringi dengan wajah-wajah protes yang sedang melayangkan gugatan padaku. Aku mengambil kertas itu.
“Siapa suruh kalian bermesraan di depanku.” Ucapku dengan nada tidak peduli sambil mengibas-ngibaskan kertas tersebut.
“Dengar ya, kalian dilarang bermesraan, berduaan, ataupun sekedar terlihat dekat di depanku sampai kalian benar-benar resmi menikah.”
“Berduaan? Tapi kami tidak hanya berdua.” Tukas Peter. “Lihat, ada banyak orang disini. Ada kau dan pengunjung lain disini.”
“Aku tidak peduli.” Kataku sambil terus menyaksikan kertas yang kukibas-kibaskan itu perlahan mulai berubah dan menampakkan gambar hasil jepretan tadi.
“Hey, tidak buruk.” Kataku kemudian.
Anne mencondongkan badannya, tampak tertarik. “Biar kulihat.”
“Ini.” Aku menyodorkan foto itu ke Anne.
Gadis itu tertawa. “Lihat wajahmu, Pete!” ejeknya. “Haha, lihat ekspresimu yang begitu memalukan!”
Peter hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya.
“Aku akan menyimpannya.” Kataku kemudian.
“Bagaimana dengan kami?” tanya Anne. “Kau tidak ingin memberi kami sesuatu untuk dikenang?”
“Hmm..” Aku berpikir sejenak.
“Baiklah.” Kataku kemudian.
Tanpa aba-aba, aku menarik tangan Peter, mendekatkannya ke arah Anne. Aku tidak yakin apa ini akan muat di frame, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Setelah merasa cukup dekat, aku pun berdiri di tengah sambil mengarahkan kamera yang kupegang ke arah kami.
“Lihat ke kamera ya..” kataku.
“Hmm.. apa kita tidak sebaiknya mengatakan cheese?” tanya Peter.
Ah, kalian ini banyak maunya. Batinku. Ya, ada benarnya juga kata laki-laki itu. Cheese? Tidak, tidak, kata itu sudah terlalu sering digunakan. Entah kenapa aku ingin menggunakan kata lain yang dapat membuat semua huru-hara tidak jelas yang terjadi hari ini semakin berkesan. Satu kata yang membuat hari ini pantas dikenang.
“Baiklah, aku ada ide, tapi kalian jangan tertawa mendengarnya.” Ucapku.
“Ide apa itu, Shannon?” tanya Anne.
“Hmm ya, jadi ini..” aku menjeda kalimatku, menghembuskan nafas sejenak. “Anggap saja ini permintaanku, okay?”
“Kau membuatnya terdengar seperti permintaan terakhir. Kau berencana untuk mati atau bagaimana?” celetuk Peter.
“Hey!”
“Pete…” lerai Anne. Peter terkekeh sambil meminta maaf. “Baiklah, yang mulai Ratu Drama, permintaan apa yang Anda ingin kami untuk penuhi?”
“Ah, kau tak ada bedanya Anne.” Dengusku kesal.
“Jadi?”
“Aku yakin akan merindukan kalian dan.. uhh… aku ingin membuat momen ini berkesan. Jadi, aku ingin kita berfoto sambil mengucapkan family. Bagaimana menurut kalian?”
Peter dan Anne saling berpandangan kemudian tersenyum.
“Baiklah.” Kata Peter, kali ini tidak melontarkan kalimat ejekan atau apapun lainnya. Tanpa bicarapun aku tahu apa yang ada di dalam isi otaknya. Pasti dia sedang mengolokku, berpikir bagaimana aku begitu mendramatisir suasana yang ada.
Memikirkannya kadang membuatku jengkel, tapi dia benar. Yup, aku memang Ratu Drama. Terima saja fakta itu.
“Kemarikan kameranya, Shan, aku yang akan mengambil foto.” Ucap Peter.
“Tunggu, kau harus ikut!”
“Ah, maksudku aku yang akan membawakan kameranya. Secara, jangkauan tanganku lebih panjang darimu.”
“Oh, oke.” Balasku. Aku memberikan kamera itu seraya menjelaskan beberapa hal yang harus dia ketahui.
“Baiklah, aku mengerti.”
Aku berdiri di antara keduanya.
“Sudah siap?” tanya Peter.
Aku mengangguk.
Rasanya agak canggung. Aku tidak tahu harus berpose seperti apa. Apakah berdiri biasa seperti ini akan membuat hasilnya bagus? Ah, aku tidak tahu.
“Jangan lupa tersenyum, Shan!” ucap Anne seraya merangkulku erat. Tidak hanya Anne, tanpa kusangka-sangka Peter ikut merangkulku.
Hahaha.. apa ini? Batinku. Suasana ini begitu…
 “Ucapkan kata ajaibnya, Nona-nona!” seru Peter.
“FAMILYYY!!!!”
Ckrek!
Sesaat setelah terdengar suara jepretan, selembar kertas berisi siluet kami bertiga akhirnya keluar. Siluet di momen yang akan kami rindukan di kemudian hari.
Aku mengibaskan kertas tersebut sesaat. “Bagus.” Kataku mengagumi hasil gambarnya.
… hangat. Aku tidak ingin melupakan momen ini.
...
Di rumah,
            “Shannon!!” panggil ibu dari ruang tengah.
            “Aku di kamar, bu!” jawabku setengah berteriak agar ibu bisa mendengarku.
            Aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat sampai ke ambang pintu. “Masuklah, bu, pintunya tidak ku kunci!” kataku kemudian.
            Ibu mendekat, mengelus puncak kepalaku sebelum memberikan satu kecupan hangat. Kadang aku ingin mengatakan padanya bahwa aku bukan anak kecil lagi. Tapi aku mengurungkan niatku. Biarlah, toh aku tidak membencinya. Pikirku.
            “Apa yang anak ibu sedang lakukan?” tanyanya penasaran melihatku terpaku di depan layar komputer.
            “Ini?” balasku. “Aku sedang memindahkan beberapa file.”
            “Hmm...”
            Ah, mumpung ibu disini, aku ingin menunjukkan beberapa hal. Dengan cepat aku membuka beberapa folder kemudian menunjukkan gambar hasil jepretan hari ini.
            “Bu, bagus tidak?” tanyaku.
            “Oh, gambar yang menakjubkan! Kapan kau mengambilnya?”
            “Tadi siang, di depan restauran paman James.”
            Kemudian aku menceritakan seluruh hal yang terjadi hari ini. Bagaimana aku yang berniat pamitan pada Anne justru mendapat kabar mengejutkan bahwa ia akan menikah dan melanjutkan hidup di Perancis, bagaimana Peter mengerjaiku hingga hampir saja rasanya aku kena serangan jantung, bagaimana mereka memberiku sebuah kado perpisahan beserta momen berharga untuk dikenang.
            “Kau memiliki teman-teman yang baik.” Ucap ibu dengan lembut.
            “Aku tahu. Mereka memang yang terbaik.”
            Ibu kemudian memperhatikan sekitar. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan persiapanmu? Aku tidak melihat adanya koper atau-..”
            “Bu.” Panggilku, memotong. “Tenanglah, aku sudah mencatat semua yang kubutuhkan disini.” Kataku sambil menunjukkan notebook kecil yang hampir selalu kubawa kemanapun aku pergi.
            “Baiklah…” ucap ibu, walau aku tahu ada suatu kekhawatiran tersembunyi di balik nada bicaranya.
            “Lagipula, aku belum akan berangkat ke sana kan? Jadi, tidak perlu buru-buru. Aku masih punya waktu beberapa minggu.”
            Ibu memandangku sejenak. “Kau benar.” Ibu menghela nafas panjang kemudian beranjak.
            “Ibu sudah menyiapkan makan malam. Kau jangan terlalu lama di dalam kamar dan jangan lupa makan.” Ucap Ibu seraya melangkahkan kaki keluar kamar.
            Sesaat ketika ibu melangkahkan kaki keluar, “bu..” panggilku, menghentikan langkah kakinya. “Ada apa?” tanyaku kemudian.
            “Apa maksudmu, sayang?”
            “Entahlah. Aku hanya merasa ibu tampak sedikit berbeda hari ini.” Jawabku.
            Ibu tersenyum. “Hahaha, tidak ada apa-apa, sayang. Kenapa jadi kamu yang mengkhawatirkan ibu?”
            Aku mengangkat bahuku.
            “Kenapa? Ada apa?” tanyaku lagi.
            Perempuan yang sudah kukenal lama sepanjang hidup itu kembali tersenyum sembari menatapku dengan syahdu. “Tidak apa-apa.” Jawabnya, mengulang jawaban sebelumnya.
            “Kadang ibu hanya lupa kalau kau sudah besar.”
            Ah..
            “Ibu ingin aku jadi anak kecil selamanya? Tak masalah untukku.”
            “Haha, tidak usah. Kau hanya akan merepotkan ibu saja.” Ibu tertawa.
            “Cepatlah turun dan makan makananmu sebelum dingin!” Ibu menyudahi pembicaraan kami dengan sebuah perintah.
            “Nanti, 15 menit lagi.”
            “Sekarang!” jawab ibu sambil berlalu.
            “10 menit lagi!” seruku
            “5 menit dan pelankan suaramu, jangan berteriak!” ucap ibu, menyuruhku berhenti berteriak padahal dia sendiri setengah berteriak.
            “Baiklah!!” seruku.
            Aku merebahkan badanku di kasur, memejamkan mata sejenak. “Ah, aku ingin tidur saja. Tapi nanti ibu pasti mengomel kalau aku tidak makan.” Keluhku.
            Namun jika dipikir-pikir, seharusnya aku tidak menyia-nyiakan momen-momen menikmati masakan ibu. Karena sebentar lagi aku akan meninggalkan rumah ini, yang artinya aku tidak akan menikmati masakan ibu lagi. Aku tidak tahu apakah masakan disana akan cocok di lidahku. Bagaimana jika tidak seenak masakan disini? Bagaimana jika tidak seenak masakan ibu?
            Tunggu, bicara apa aku ini. Tentu saja tidak ada yang bisa mengalahkan cita rasa masakan ibu! Batinku sambil mendengus.
            “Ah, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Aku pasti akan sangat merindukannya.” Ucapku pada diri sendiri.
            Kadang aku ingin tahu apakah aku saja yang berlebihan ataukah semua orang pasti akan merasakan perasaan yang begitu haru-biru sesaat sebelum akhirnya mereka meninggalkan rumah? Aku ingin tahu apakah ayah dan ibu juga akan merasakan hal yang sama mengetahui aku akan tinggal jauh dari mereka?
            Aku jadi khawatir. Apa mereka akan baik-baik saja?
            “Aarrgghhh… aku tidak suka berpikiran seperti ini.” Ucapku, bangkit dari tempat tidur.
            “Mungkin ini efek lapar. Sebaiknya aku makan saja.”
            Aku memutuskan keluar dari kamar dan bergegas menuju ruang makan. Disana, aku melihat ibu dan adik perempuanku sudah duduk manis menyantap makanan mereka.
            “Kau lama sekali di dalam kamar, jadinya kami makan duluan.” Sambut ibu sambil mengambilkan stik daging ke piringku.
            “Apa sih yang kau lakukan di dalam kamar, kak? Bertapa? Kalau ingin jadi petapa, mungkin sebaiknya kau pergi ke gunung saja, bukan ke Amerika.” Kata gadis kecil, yang kalau bukan adikku mungkin sudah kuikat di dalam gudang saking menyebalkannya ia kadang-kadang.
            “Haha, lucu sekali. Memangnya kau mau punya kakak seorang petapa?” kataku, menggoda. “Mungkin aku akan menjadi petapa berbulu lebat. Sepanjang tubuhku akan ditumbuhi bulu panjang, lebat, dan bau. Bahkan nanti bulu ketiakku akan tumbuh panjang sepanjang tumit. Lalu…”
            “YUCK!!!” pekik adikku. “Bu!!! Kakak jorok sekali!!!”
            Hahaha. Rasakan itu! Aku yakin selera makanmu turun setelah mendengar hal itu.
            “Hush, Shannon! Mana etikamu di meja makan?!” Ibu mengomel dengan sarkas.
            “Maaf bu. Aku akan diam.” Kataku begitu enteng sambil menyuapkan makanan ke mulutku.
            Aku melihat ke arah adikku, mendapatinya sedang menggembungkan pipi melihati makanan di piringnya.
            “Bu, aku sudah kenyang.” Katanya beralasan.
            “Tidak boleh, harus dihabiskan!” titah ibu.
            “Aku sudah kenyang, bu!”
            “Jangan beralasan. Kau bahkan baru memakannya beberapa suap.”
            “Uhhh…”
            “Cheryl!” kali ini ibu mengarahkan tatapan tajamnya ke gadis malang itu. “Habiskan!” perintahnya hanya dengan satu kata.
            “Gara-gara kakak, aku jadi tidak selera makan dan dimarahi ibu.” Gerutunya.
Aku melihat ke arahnya. Matanya tampak berkaca-kaca. Gadis malang, aku jadi merasa bersalah dibuatnya.
“Baiklah, aku minta maaf. Sekarang habiskan makananmu.” Kataku.
Ia menyantap makanannya dengan setengah hati.
Ah, dasar anak kecil. Pintar sekali membuat orang jadi tidak enak hati. Batinku, masih dengan perasaan bersalah.
“Hey, apa kau tahu di restauran Paman James juga menyediakan menu es krim?” tanyaku. Cheryl hanya memandang ke arahku, seperti bunga layu.
“Bagaimana jika besok siang aku membawamu kesana?”
Seketika wajah gadis berbinar. “Sungguh?”
“Iya.” Jawabku. “Kapan aku berbohong padamu?”
Pertanyaan bodoh, Shannon. Pertanyaan yang sangat bodoh. Seketika saja gadis itu berubah menjadi seperti rekaman radio butut yang siap mengulang-ngulang seluruh isi rekamannya.
“Dulu kau bilang akan memberiku hadiah ulang tahun, tapi di hari ulang tahunku kau malah tidak memberikan apapun. Waktu itu juga kau bilang akan menemaniku membuat bola salju, tapi kau malah pergi berseluncur bersama Anne. Dan.. dan..”
“Astagaaa kau masih saja mengingatnya. Aku kan sudah minta maaf. Sudah kubilang kan, saat itu aku hanya lupa.” Kataku. “Lagipula, aku kan sudah menggantinya di hari lain.”
“Tapi…”
“Besok aku tidak akan lupa.” Kataku kemudian.
“Kau janji?” tanyanya.
“Iya, aku janji. Tapi kau juga harus mengingatkanku, ya.”
Cheryl tersenyum sambil menyodorkan kelingkingnya. “Janji kelingking.”
“Janji kelingking.” Balasku sambil menyatukan kelingking kami. “Tapi kau harus habiskan makanan malammu, ya. Aku tidak mau membawamu kesana kalau kau tidak habiskan makananmu.”
“Itu mudah!” ucapnya percaya diri.
Lalu entah bagaimana ide konyolku itu bisa berhasil, ia tampak gembira dan kembali menyantap makanannya dengan lahap. Senang juga melihatnya gembira seperti itu, yang entah kenapa membuat selera makanku ikut meningkat.
“Jangan terlalu sering memanjakannya dengan cara seperti itu, dia bisa meminta lebih.” Bisik ibu, tersenyum.
“Haha, tidak apa bu. Lagipula aku memang berniat ingin menghabiskan waktu dengannya.”
Ibu menjeda makannya sesaat. Memperhatikanku sejenak, kemudian menyentuh lembut pipiku. “Kakak yang baik.”
“Hehe.” Aku tersenyum.
Tiba-tiba ibu mencubitku. “Ayo, cepat habiskan dan tambah lagi makanannya. Kau harus makan yang banyak.”
“Iyaaa…”
Beberapa lama kemudian, kami selesai menyantap hidangan makan malam kami. Seperti biasa, Cheryl langsung menghambur pergi meninggalkan piring bekasnya sementara aku harus membantu ibu merapikan kembali meja makan.
“Ah, anak itu.” Dengusku.
“Tak apa. Nanti juga dia akan belajar saat kau sudah tidak di rumah.”
Aku mengernyitkan dahiku. “Bu, berhentilah bicara begitu, seolah-olah kau ingin aku cepat pergi saja.”
“Haha, bukan begitu, sayang. Malah kalau bisa, ibu ingin kamu tidak usah pergi.”
“Oh benarkah?” aku terkejut mendengar jawaban ibu.
“Iya, nanti rumah ini akan jadi lebih sepi saat kamu pergi.”
Hmm.. sepertinya begitu. Secara, siapa lagi yang akan mengusili si adik kecil sampai merengek berteriak kalau bukan aku di rumah ini.
“Tapi di sisi lain akan jadi lebih damai.” Imbuh ibu tiba-tiba.
“Ah, ibu.”
Ibu tertawa. “Hanya bercanda, sayang. Ibu yakin Cheryl juga akan merindukanmu.”
Si Tuan Putri kecil itu? Tentu saja.
“Ngomong-ngomong, ayah lembur lagi, bu?”
“Tidak, ayahmu di atas.”
“Ayah sudah pulang? Kenapa tadi tidak makan malam dengan kita?”
“Ayahmu bilang sedang ingin mengerjakan sesuatu.”
Mengerjakan apa? Tugas kantor? Tumben sekali ayah membawa pulang pekerjaan kantor. Apa kantor mulai sibuk lagi? Ah, meski begitu seharusnya itu tidak menjadikan alasan untuk melewatkan makan malam. Kalau saja itu aku yang sedang mengerjakan tugas di kamar mungkin sudah kena marah berkali-kali. Ketidakadilan macam apa ini.
“Aku akan mengganggunya.” Kataku seenaknya.
“Kau mau menemui ayah di atas?” tanya ibu.
“Yup. Aku ingin mengobrol sedikit dengannya.”
“Tunggu sebentar.” Kata ibu. Ia tampak mengambilkan piring dan menyiapkan seporsi makanan untuk Ayah. “Bawakan ini sekalian. Ibu yakin Ayahmu pasti lapar.”
“Baik, bu.”
Aku bergegas ke atas sambil membawakan makan malam untuk ayah.
Kalau ibu bilang di atas, berarti ayah pasti sedang di ruangan ini. Bakal mengganggu tidak ya? Ah, sudahlah. Aku mengetok pintunya dan mendengar ayah merespon. “Masuklah, Nak!”
“Hai, Yah! Ini, ibu menyuruhku membawakan makanan untukmu. Ayah pasti lapar karena belum makan dari tadi.
“Ah, pas sekali. Taruh dulu saja.”
Aku menaruh makanan itu di atas meja.
“Jadi… sedang apa, Yah?” tanyaku.
...
(To be continued)



Author's Note:
- sorry took long enough to continue this part. I must admit that somehow I forgot what's this story is about and how things will turn out from part 3. But somehow, i'll make it work. Truly sorry for the late post.

0 komentar:

Post a Comment

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Popular Posts

Quotes Of The Day

Don't Forget To Be Grateful

Mind to Visit?

My Alternate: http://walk-path.blogspot.com/ Friends: http://a-story-to-read.blogspot.com/ http://13thheavenlyparadise.wordpress.com/

About

I'm just an ordinary person who happened to love writting. And here as what the description blog says (although you cannot see it unless you block it) I'll write anything I could regardless whether or not it is important. So, I'll be happy if it can entertain you or perhaps becoming useful for some sort, well somehow and I'm sorry if it couldn't brighten your day. Nevertheless, I also want to thank you for visiting this blog. Thank you very much!


Copyright © From Authors To Readers | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com