Guess
Daun yang hijau, rumput, pepohonan, langit, dan
air laut yang jernih. Pemandangan yang tidak akan ditemui orang-orang yang
hanya tinggal dan menikmati hiruk-pikuk perkotaan. Suara camar dan sentuhan
angin. Pejamkan matamu sejenak dan kau mungkin akan mendengar suara rumput
bergemerisik atau tetes embun yang jatuh dari daun ke daun. Apa kamu bisa
mendengarnya? Apa kamu merasakan apa yang kurasakan?
…
“Mimi,
ayo cepat makan sarapanmu!” teriak ibu dari balik dinding dapur.
“Iya,
Ibu!” jawabku menghambur untuk mengambil sebuah nasi goreng dengan telur mata
sapi yang sudah ibu siapkan di meja.
“Loh,
mana ayahmu?” celetuk ibu melihatku mengambil sendiri tanpa ditemani sosok ayah
yang biasanya mengintil dari belakang begitu mendengar panggilan dari ibu.
“Berangkat
mancing.” Kataku.
“Kok
pagi-pagi sekali?” tanya ibu lagi. “Sendirian mancingnya?”
Aku
menggeleng pelan. “Sama kakek. Katanya harus berangkat pagi biar dapat ikan
banyak.”
Ibu
menghela nafas panjang sambil mengeluh kenapa ayah tidak memberitahu ibu. Kalau
tahu ayah akan memancing dengan kakek, ibu akan bangun lebih pagi untuk
menyiapkan perbekalan.
“Mimi
juga kenapa tidak membangunkan ibu kalau tahu ayah berangkat pagi banget tadi?”
keluh ibu.
“Maaf
ibu, habis aku nggak tega. Kata ayah juga nggak usah bangunin ibu, soalnya ibu
kelihatan capek banget, butuh istirahat yang cukup.”
Sekali
lagi, ibu menghela nafas. “Ya sudah kalau begitu.” Ibu kemudian duduk di kursi
sambil memperhatikan sepiring penuh nasi goreng yang belum disentuh. “Nggak
mungkin kan dibuang, tapi kalau ayahmu pulangnya masih lama ya keburu dingin
dan nggak enak dimakan.”
“Aku
antarkan saja nasi gorengnya ke ayah!” kataku mengide.
“Memangnya
kamu tahu dimana ayah memancing?” tanya ibu.
“Tahu!”
jawabku, sambil mengangguk mantap.
“Ya
sudah, ibu siapkan dulu.” Kata ibu kemudian.
Ibu
mengambil sebuah rantang besi dan memasukkan nasi goreng tersebut ke dalamnya.
Ibu juga mengambil sebuah botol minuman dan mengisinya dengan teh hangat.
Selesai mempersiapkan perbekalan, ibu memasukkannya ke dalam tas kain berwarna
kuning berukuran sedang dan memberikannya kepadaku.
Aku
mengintip ke dalam isi tas itu dan hanya menemukan 1 rantang dan 1 botol
minuman. Dengan bingung, aku menoleh ke arah ibu. “Bu, buat kakek mana?” tanyaku.
Ibu
diam sambil mengambil sebuah sendok. “Ini, ibu bawakan 1 lagi sendok biar nanti
ayah bisa berbagi dengan kakek.” Kata ibu sambil tersenyum.
“Minumnya?”
tanyaku lagi, seperti tidak ada habisnya.
“Itu
kan tutupnya bisa dicopot. Bisa dipakai untuk jadi gelas.” Kata ibu.
“Oh
iya..” gumamku. “Ya sudah, aku berangkat dulu ya bu..”
Aku
bergegas pamit dan mencium tangan ibu. “Hati-hati ya.. nggak usah buru-buru.”
Seru ibu sambil mengelus rambutku.
Tidak
membutuhkan waktu lama, aku sampai di tempat ayah dan kakek memancing. Keduanya
tampak tenang, sesekali tampak seperti mengobrol dan bersenda gurau. Memangnya
memancing semenarik itu ya? Batinku, tidak mengerti. Aku mendekat ke arah
keduanya. Semakin mendekat, semakin kudapati bahwa ternyata ayah sedang tertawa
sambil memegang handphone di tangannya. Tidak ingin mengagetkannya, aku
pun lantas memilih untuk berjalan diam dan duduk di samping kakek.
“Hai,
kek!” sapaku. Kakek hanya tersenyum. Lalu aku menoleh ke ayah. “Yah!”
panggilku.
“Eh,
Mira, udah disini aja.” Kata Ayah. “Ngapain duduk disitu? Sini loh, duduk di
dekat Ayah. Kita mancing bareng.”
Aku
beranjak dari tempat dudukku lalu duduk di samping ayah. “Nih!” kataku sambil
menyodorkan makanan.
“Oh,
anak pintar!” puji Ayah. “Dari ibu ya, pasti?”
“Iyalah.”
Jawabku sedikit ketus. “Ayah sih, pakai pergi nggak pamit ibu segala. Jadi aku
kan yang repot harus nganterin makanan ke Ayah.”
“Yee..
kok gitu sama Ayah.” Ayah mencubit pipiku. “Kan kalau nggak begini kamu jadi
nggak bisa jadi anak berbakti.”
“Kok
gitu?”
“Membantu
orang tua kan termasuk cara kita berbakti ke orang tua.” Kata Ayah sambil
membuka dan menyantap hidangannya.
Aku
mengernyit sambil memanyunkan bibir. “Iya, akunya berbakti tapi ayah nggak ada
bilang makasih-makasihnya.”
Ayah
tertawa. “Iya, iya.. terimakasih anakku, Mira sayang, yang paling cantik dan
baik sedunia.”
Aku
pun tersenyum puas mendengar ayah mengatakannya. Pujian yang sedikit berlebihan
dan seperti tidak ada gunanya.
“Eh,
jangan dimakan sendiri!” seruku. “Bagi dengan kakek, yah!”
“Kakek?”
tanya Ayah.
“Nah
kan, si Ayah main makan aja. Itu kan disitu sendoknya ada dua. Yang satu buat
kakek.” Seruku tidak habis mengerti.
“Oh,
kirain sendok satunya buat Mira.”
“Ya
enggak lah, aku kan sudah makan!”
Sambil
mengomel, aku pun melirik dan melihat ke arah kakek. Dia hanya tersenyum,
kemudian melambaikan tangannya padaku. Karena kesal dengan ayah, aku pun
berbalik memunggunginya dan bergegas pergi ke arah kakek untuk mengadu.
“Kek,
tuh lihat ayah nggak tahu diri. Masa nasi gorengnya dimakan sendiri, padahal
kan harusnya dibagi sama kakek.” Ucapku.
“Nggak
apa-apa…” kata kakek lembut. “Sini, duduk.” Kata kakek menepuk-nepuk tanah di
sekitarnya, mengisyaratkanku untuk duduk di sebelahnya.
“Kakek
jangan diam saja dong kalau digituin, nanti ayah jadi seenaknya sendiri.”
Kataku.
Kakek
hanya tersenyum. Ia meletakkan pancingnya, lalu mengelus rambutku dengan
lembut. “Cucuku, Mira, sudah besar dan kuat.” Ucapnya lembut. “Apa kamu suka
dengan pemandangan ini?” tanya kakek kemudian.
Aku
melihat sekitar, lalu mengangguk. “Iya, disini pemandangannya sangat bagus! Aku
suka gunung itu, langit itu, semua perairan yang luas itu, semuanya aku suka!
Terlihat sangat cantik!” seruku dengan penuh antusias.
Kakek
kali ini tidak hanya mengelus rambutku, tapi juga memelukku. “Cucu kakek satu
ini memang yang paling berbeda dan menggemaskan.”
“Nggak
menggemaskan tuh, aku kan sudah besar!” protesku.
Kakek
melepaskan pelukannya. “Iya, iya.. ya sudah, hati-hati ya. Itu temenmu Mina sudah
menjemputmu.” Kata Kakek.
“Mina?”
tanyaku.
“Iya,
kamu lupa sama temanmu sendiri?” tanya kakek.
Aku
menoleh dan mendapati seorang gadis sudah berdiri di belakang kami. Aku seperti
tidak pernah mengingat namanya, tapi anehnya aku seperti mengenalnya.
“Ayo
kita pulang, Mir.” Seru Mina.
“Oke..”
jawabku singkat, yang entah kenapa aku seperti menurut saja dengan
perkataannya. Aku menoleh sesaat kemudian melambaikan tangan ke kakek, ke ayah,
ke ibu, ke rumah.… eh?
Mina
berjalan diam tanpa sepatah katapun.
…
“Mina,
ayo cepat bangun! Mau sampai kapan kamu tidur?” seru Ibu dari luar pintu.
“Eh?”
aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa saat.
“Mina,
ayo cepat bangun! Kamu bisa telat sekolah!”
Aku
keluar ke kamar dan mendapati ibuku yang tampak terburu-buru. “Cepat makan
sarapannya, mandi, habis itu siap-siap berangkat sekolah.”
“Oke,
bu..” jawabku. “Ayah mana?” tanyaku.
Ibu
diam sejenak lalu menjawab, “Sudah berangkat duluan, kamu sih lelet bangunnya.”
“Hehe,
iya.. maaf.”
Selesai
makan, aku pun mandi dan bersiap-siap seperti perintah ibu. Aku pun merapikan
isi tasku, lalu bergegas untuk berangkat.
“Bu,
berangkat dulu ya…” pamitku.
“Iya,
ya sudah, hati-hati. Jangan ngebut-ngebut, pelan-pelan aja jalannya. Tuh, di
depan sudah ditunggu Mira.”
“Mi..
ra..?”
Aku
mendapati seorang gadis telah menungguku dengan senyum hangatnya. Tapi ia tidak
mengenakan seragam seperti yang aku kenakan.
“Pagi,
Mina…” sapanya.
“Pagi.”
Jawabku bingung. Aku seperti mengenal dan tidak mengenal gadis di sebelahku.
“Sudah
sarapan?” tanyanya. Aku mengangguk, dan ia bertanya lagi. “Nasi goreng?”
“Iya…”
jawabku, semakin bingung. “Kok kamu tahu?”
Gadis
itu tertawa. “Iya, karena itu juga makanan kesukaanku.”
…
Aku
membuka mataku perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar
berwarna putih. Sejak kapan dan berapa lama aku sudah tertidur? Gumamku pada
diriku sendiri. Rasanya sudah tidur terlalu lama tapi juga sebentar.
Drrt…
drr… HP-ku bergetar dan memunculkan notif 81 pesan yang belum terbaca. Sebagian
besar pesan itu dari grup kelas. “Huh, gila, notif sampai meledak begini, pada
ngomongin apa sih di grup?” gerutuku, tak habis pikir.
Aku
membuka satu-persatu pesan di hp, lalu membaca pesan-pesan personal yang
dikirimkan kepadaku satu-persatu.
From:
Ibu
“Lagi apa? Kalau hari sabtu libur
nggak kalau disana? Coba lihat, Ibu habis masak nasi goreng kesukaanmu. Kamu
jangan lupa sarapan. Udah gede, nggak perlu ibu ingatkan juga pasti sudah tahu
kalau sarapan itu penting.”
…
Bayangkan
ada gunung yang indah, air laut yang menghangat oleh sinar mentari dan angin
sepoi-sepoi. Apa kamu bisa merasakannya? Kamu bisa mendengar suara embun yang
jatuh dari genting, daun yang bergemerisik, nyanyian seekor burung, dan tawa
seorang anak manusia. Apa kamu bisa mendengarnya? Kamu bisa mencium bau tanah
yang basah oleh hujan, bau masakan ibumu yang enak, bau parfum bajumu yang
habis dicuci dan disetrika. Apa kamu bisa menciumnya? Coba tebak, apa yang
kurang.
0 komentar:
Post a Comment