Menjadi Lentera
by: Gita Ardeny
Source picture : pinterest
Hari ini udara terasa dingin sekali, lebih
dingin dari biasanya. Aku memutuskan untuk memakai jaket tebal ke kampus.
Mungkin inilah puncak musim kemarau. Kudengar suhu udara akan menjadi lebih
dingin saat memasuki puncak kemarau.
“Alma!”
panggil seseorang dari jauh. “Udah selesai kuliahnya?” tanyanya sambil mendekat
ke arahku.
Aku
mengangguk sambil mengamati sesosok gadis yang seolah memiliki seluruh waktu
luang yang ada di dunia. “Gila ya, kamu betah sekali di kampus.” Kataku tak
habis pikir. Pasalnya ia adalah seorang mahasiswi jurusan Psikologi yang sudah
menyelesaikan seluruh rangkaian ujian dan tugas akhirnya. Dengan kata lain, ia
sudah menyelesaikan kegiatan akademiknya. Harusnya ia sudah bisa mendaftar wisuda
sejak beberapa bulan yang lalu, mengikuti gelombang pertama tahun ini. Namun
entah ada hal apa lagi yang perlu ia urus hingga membuatnya menunda pendaftaran
wisuda.
“Soalnya
ada keperluan. Kalau nggak ada mah udah pulang.”
“Pulang
ke sisi Tuhan?” Celetukku tak tanggung-tanggung.
“Dih,
didoain mati dong sama ini bocah. Kamu mau aku mati duluan?” tanyanya
tersenyum. “Nggak sedih nih aku tinggalin?”
Rasanya ingin
sekali bilang ‘iya’ kalau melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu. Tapi
orang waras mana yang bakal bilang itu ke sahabatnya sendiri. Bercanda pun ada
batasnya, kan? Aku menghentikan langkahku sambil menghela nafas panjang.
Sejurus
kemudian, plak! “Bodoh jangan dipelihara dong, please! Mana ada orang yang suka ditinggal mati sahabatnya, hah?”
Gadis
itu tertawa. “Iya, iya.. tapi nggak harus nabok lengan juga kali. Panas nih!”
“Maaf,
refleks.”
“Refleks
gelut?” balasnya terkekeh. “Atau refleks senggol bacok?”
“Bodo
amat, Lin!” Aku mencubit ringan lengannya kali ini. “Elin, si Jeng Kelin!” imbuhku
menyindir.
Elin
mengernyitkan dahinya. “Padahal yang didoain mati tadi aku, kenapa jadi aku
yang nge-jengkelin?” balasnya, masih
dengan senyum dan tawa yang sama.
“Ah,
terserahlah.” Kataku mengalah. “Ngomong-ngomong, mau makan dimana? Jangan ayam
lagi lah, bosan.”
“Makan
di Sambel Uleg mau nggak?”
“Mana
tuh?”
“Dekat
warung makannya Pak Haji. Enak disitu, ada menu ikan juga kok kalau kamu bosan
ayam.” Jelasnya singkat.
“Oke
deh.”
Akhirnya
kami memutuskan untuk makan di Sambel Uleg. Sampai sana, segera saja kami
mencari tempat duduk kosong lalu memesan makanan.
“Baik
mbak, pesanannya mohon ditunggu ya.” Ucap sang Pelayan dengan ramah.
Sejenak
kemudian Elin tampak membuka hp-nya, mengetik sesuatu. “Maaf ya, sebentar.”
Ucapnya. Sepertinya ia sedang membalas chat temannya atau apa.
“Sudah.”
Ucapnya lagi, kali ini sambil menatap lekat. “Jadi, kenapa lagi sekarang?”
“Kenapa
gimana maksudnya?” tanyaku.
“Kamu.”
Aku
mengernyitkan dahiku. “Maksudmu?”
Elin
menghela nafas sambil mengulurkan tangannya seperti hendak berjabat tangan.
Meski agak ragu, aku pun menjabat tangannya. “Ini ngapain ya, ngomong-ngomong?”
“Kamu ingat, kan, kalau kamu menjabat tanganku
artinya kamu sepakat kalau kamu harus berkata jujur?” tanyanya.
“Umm…”
“Sepertinya
aku sudah pernah bilang kalau setiap individu punya kebiasaan tertentu saat
mereka berusaha menyembunyikan keresahan mereka. Semakin terlatih, sadar, atau
lama mereka terpapar, maka akan menjadi semakin halus bahasa non-verbalnya.”
Ucapnya pelan, walau sebenarnya ia tidak perlu benar-benar memelankan suaranya
karena tempat duduk yang ia pilih sepi dari pengunjung lain, entah ia sengaja
atau tidak.
“Dan
tahu tidak, aku tahu kamu sudah menarik nafas panjang beberapa kali. Aku juga
tahu kalau sebenarnya diam-diam kamu mencengkeram tanganmu sendiri. Sekilas
memang seperti orang kedinginan, mungkin kamu memang kedinginan, tapi kurasa
bukan sekedar itu. Kamu juga sengaja membiarkan kukumu panjang kan? Segitunya
kah kamu berharap untuk bisa menyakiti dirimu sendiri?”
Belum selesai, ia
kemudian meraih tangan kiriku kemudian menyingsingkan lengan baju bagian itu.
“Kan, sudah kuduga kamu menggambar beginian lagi di tanganmu. Pakai apa ini?
Spidol? Kamu nggak berusaha menyembunyikan luka sayat atau apapun itu kan?” Ia
tampak mengamati gambaran di tanganku. “Dan ini…”
“Iya,
aku menggigitnya tadi.”
“Kenapa?”
ia memeriksa lenganku satunya sebelum mengembalikan kedua lengan bajuku seperti
semula.
Sudah
kuduga kalau bersamanya pasti ketahuan juga akhirnya. Kadang menyebalkan juga
kalau dia bisa tahu semudah itu, seolah-olah aku tidak akan pernah bisa
menyembunyikan apapun dari orang-orang semacam dia. Tidak dengan akting yang
pas-pasan. Seperti dulu saat kami pertama kali bertemu.
“Mau
cerita? Tidak juga tidak apa-apa.”
Aku
terdiam sejenak, menghela nafas. Mungkin tidak ada salahnya kalau aku cerita.
“Se-…”
Baru saja membuka mulut, tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan pesanan
kami.
“Ini
pesanannya.” Ucap sang pelayan sambil menaruh dan menyebutkan menu apa saja
yang kami pesan. “Terimakasih.” balasku
Aku
mengambil minuman pesananku. Menyeruputnya perlahan. “Mungkin sebaiknya
dilanjut setelah selesai makan.” Kataku yang disusul isyarat tanda setuju dari
Elin.
…
Usai
makan, Alma mulai menceritakan semua kegundahannya. Tentang bagaimana ia
menemukan temannya berusaha mengakhiri hidup. Tampaknya ia merasa terbebani
dengan segala apa yang menimpanya.
“Dia.. errgghh..
entahlah, aku hanya tidak mengerti diriku sendiri. Kadang aku hanya kesal
karena orang suka bersikap sok tegar dan berusaha melakukan semuanya sendirian,
tapi aku juga kesal jika mereka terlalu banyak mengandalkanku. Aku tahu aku
aneh, tapi aku hanya kesal karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk
membantu mereka.” Ungkapnya sambil meremas pergelangan tangannya.
“Hmm..
padahal kamu sendiri sok tegar.” Aku menyeruput sisa es jeruk pesananku.
“Sebentar, jadi, kamu tahu kondisinya karena ia memberitahumu sendiri?”
Alma
mengangguk. “Aku bersyukur percobaannya gagal, tapi..” Ia menggigit bibirnya.
“Dan
kau berusaha menolongnya dengan membawanya ke rumah sakit?”
“Iya.
Kupikir itu satu-satunya yang bisa kulakukan.”
“Jangkauan perspeksimu terlalu luas sampai kau
lupa milikmu sendiri, aku jadi tak habis pikir.” Kataku, sempat terkekeh. “Kau
sudah melakukan hal yang baik. Maksudku, siapa yang bakal mengira orang yang
baru berkenalan bisa membantu setulus itu, kan? Memangnya apa yang membuatmu
tidak puas? Kamu sudah melakukan hal yang benar, Al.”
Alma
tampak merenung mencari jawaban. “Entahlah. Mungkin aku hanya sedih karena
tidak menyadarinya sejak awal. Aku memberitahunya, Lin, aku meberitahunya kalau
aku.. punya sisi gelap itu juga. Sisi yang sangat gelap walau tidak sampai
mengakhiri hidup.”
Ia membuang pandangannya.
“Mungkin karena aku terlalu pengecut.”
“Tidak
mengakhiri hidup pun kadang-kadang kau masih suka menganiaya dirimu sendiri,
apa bedanya coba.” Timpalku.
“Apa
kau tahu kalau dia punya kecenderungan itu?” tanyaku kemudian.
Alma
menggeleng. “Kami jarang bertemu, tapi entah kenapa aku tahu kalau dia mungkin
memiliki masalah besar jika ia sampai bertanya apa aku pernah berusaha
mengakhiri hidup. Jadi, aku hanya memberitahunya bahwa ia bisa mengatakan
apapun padaku atau menghubungiku kapanpun jika ia membutuhkan. Aku tidak ingin
dia punya ide seperti itu, tapi dia malah…”
“Dia
sudah melakukannya, kan? Usahanya gagal dan ia menghubungimu pada akhirnya
karena ia percaya padamu. Aku masih tidak mengerti kenapa itu membuatmu merasa
buruk?”
Gadis
itu tampak menghela nafas panjang. “Mungkin aku hanya ingin hal-hal itu tidak
sampai terjadi pada orang lain. Katakan, Lin, menurutmu bagaimana caraku untuk
bisa mencegah hal serupa terjadi lagi?” Alma mencoba menahan emosinya. Ah, aku
tidak tahan dengan tatapannya yang berkaca-kaca seperti itu.
“Hatimu itu terlalu
lembut meski sudah patah berulang kali ya.” Ucapku. Coba saja di dunia ini
banyak manusia sepertimu, manusia yang benar-benar tulus peduli akan sesamanya.
“Maksudmu?”
“Berhentilah
berusaha memikul nasib dunia ataupun orang lain. Berhenti menyalahkan dirimu
sendiri. Setiap orang memikul takdir, nasib, dan keputusannya masing-masing.
Kalau ada hal buruk menimpa orang lain, itu bukan salahmu. Memang itu yang
sudah sepantasnya terjadi.”
“Tapi,
Lin, itu semua harusnya bisa dicegah. Bisa dicegah kalau saja aku lebih peka.
Kalau saja aku bisa mencegahnya dan meringankan semua bebannya.”
“Dengar,
aku tahu kamu merasa ingin mengoreksi dunia dengan cara terjun ke dalam lembah
itu dan memikul semua bebannya. Tapi bukan begitu caranya, Al.” Alma menunduk.
“Tetaplah
peduli.” Ucapku, sambil menepuk pundaknya. “Sebagai orang yang pernah mengalami
masa-masa kelam dan keluar darinya, kau bisa menunjukkan pada orang lain jalan
keluar yang kau tempuh. Kamu bisa menunjukkan pada mereka kalau kamupun pernah
berada disana. Jadilah lentera yang menuntun orang-orang yang sedang jatuh
untuk bangkit. Namun saat kau merasa lelah dan cahayamu mulai padam,
istirahatlah sejenak, carilah lentera lain yang dapat membuat nyalamu terang
kembali.”
Aku
memegang lengan kirinya, “Tidak seperti ini.” Kataku. “Mengerti maksudku?”
Ia
masih menunduk walau bibirnya mulai tersenyum. “Kuharap aku bisa sepertimu.”
“Hah?
Kenapa?” tanyaku tak habis pikir lagi, tapi dia hanya diam. “Kamu itu kuat,
tahu. Kalau aku jadi kamu dengan masa lalu yang penuh.. errmm.. katakanlah
ekstrim, aku tidak yakin aku masih kuat hidup hingga saat ini. Bahkan, aku
yakin aku sudah memutuskan untuk lari dari mereka. Dan sekarang pun kamu.. kamu
malah masih bisa menyayangi mereka sampai mereka berubah, kamu masih bisa
peduli pada orang lain walau orang itu baru kamu kenal, kamu tidak pernah jatuh
pada godaan untuk mengakhiri hidup. Menurutku itu hebat dan bukan pengecut.”
Aku
melihat embun yang siap menetes di pelupuk mata gadis itu. “Eh, aku nggak ngelarang kamu nangis, tapi jangan nangis disini ya. Nanti aku disangka nge-bully
kamu. Haha.” Kataku menenangkan. “Gimana kalau kita bayar dulu habis itu
pulang?” Ajakku.
“Baiklah.”
Balas gadis itu sembari menyeka air matanya yang nyaris menetes.
…
Alma
melambaikan tangannya sebelum mengendarai motornya untuk pergi ke arah yang
berbeda. Elin membalas lambaian tangan itu kemudian bergegas memakai sarung
tangan motornya. Gadis itu tampak memperhatikan kedua tangannya sambil
merenung. Dengan perlahan dan hati-hati, ia menyingsingkan mansetnya sedikit
sambil mengintip apa yang tersembunyi di dalamnya.
“Yap,
aku belum sekuat kamu, Al.” Ucap gadis itu tersenyum melihat tiga bekas sayatan
di pergelangan tangannya. “Tapi aku pun bertekad untuk bisa menjadi lentera
yang menerangi jalan orang lain.” Ia menutup kembali pergelangan tangannya dan
bergegas pulang.
Hari ini udara terasa dingin sekali, lebih
dingin dari biasanya. Aku memutuskan untuk memakai jaket tebal ke kampus.
Mungkin inilah puncak musim kemarau. Kudengar suhu udara akan menjadi lebih
dingin saat memasuki puncak kemarau.
“Alma!”
panggil seseorang dari jauh. “Udah selesai kuliahnya?” tanyanya sambil mendekat
ke arahku.
Aku
mengangguk sambil mengamati sesosok gadis yang seolah memiliki seluruh waktu
luang yang ada di dunia. “Gila ya, kamu betah sekali di kampus.” Kataku tak
habis pikir. Pasalnya ia adalah seorang mahasiswi jurusan Psikologi yang sudah
menyelesaikan seluruh rangkaian ujian dan tugas akhirnya. Dengan kata lain, ia
sudah menyelesaikan kegiatan akademiknya. Harusnya ia sudah bisa mendaftar wisuda
sejak beberapa bulan yang lalu, mengikuti gelombang pertama tahun ini. Namun
entah ada hal apa lagi yang perlu ia urus hingga membuatnya menunda pendaftaran
wisuda.
“Soalnya
ada keperluan. Kalau nggak ada mah udah pulang.”
“Pulang
ke sisi Tuhan?” Celetukku tak tanggung-tanggung.
“Dih,
didoain mati dong sama ini bocah. Kamu mau aku mati duluan?” tanyanya
tersenyum. “Nggak sedih nih aku tinggalin?”
Rasanya ingin
sekali bilang ‘iya’ kalau melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu. Tapi
orang waras mana yang bakal bilang itu ke sahabatnya sendiri. Bercanda pun ada
batasnya, kan? Aku menghentikan langkahku sambil menghela nafas panjang.
Sejurus
kemudian, plak! “Bodoh jangan dipelihara dong, please! Mana ada orang yang suka ditinggal mati sahabatnya, hah?”
Gadis
itu tertawa. “Iya, iya.. tapi nggak harus nabok lengan juga kali. Panas nih!”
“Maaf,
refleks.”
“Refleks
gelut?” balasnya terkekeh. “Atau refleks senggol bacok?”
“Bodo
amat, Lin!” Aku mencubit ringan lengannya kali ini. “Elin, si Jeng Kelin!” imbuhku
menyindir.
Elin
mengernyitkan dahinya. “Padahal yang didoain mati tadi aku, kenapa jadi aku
yang nge-jengkelin?” balasnya, masih
dengan senyum dan tawa yang sama.
“Ah,
terserahlah.” Kataku mengalah. “Ngomong-ngomong, mau makan dimana? Jangan ayam
lagi lah, bosan.”
“Makan
di Sambel Uleg mau nggak?”
“Mana
tuh?”
“Dekat
warung makannya Pak Haji. Enak disitu, ada menu ikan juga kok kalau kamu bosan
ayam.” Jelasnya singkat.
“Oke
deh.”
Akhirnya
kami memutuskan untuk makan di Sambel Uleg. Sampai sana, segera saja kami
mencari tempat duduk kosong lalu memesan makanan.
“Baik
mbak, pesanannya mohon ditunggu ya.” Ucap sang Pelayan dengan ramah.
Sejenak
kemudian Elin tampak membuka hp-nya, mengetik sesuatu. “Maaf ya, sebentar.”
Ucapnya. Sepertinya ia sedang membalas chat temannya atau apa.
“Sudah.”
Ucapnya lagi, kali ini sambil menatap lekat. “Jadi, kenapa lagi sekarang?”
“Kenapa
gimana maksudnya?” tanyaku.
“Kamu.”
Aku
mengernyitkan dahiku. “Maksudmu?”
Elin
menghela nafas sambil mengulurkan tangannya seperti hendak berjabat tangan.
Meski agak ragu, aku pun menjabat tangannya. “Ini ngapain ya, ngomong-ngomong?”
“Kamu ingat, kan, kalau kamu menjabat tanganku
artinya kamu sepakat kalau kamu harus berkata jujur?” tanyanya.
“Umm…”
“Sepertinya
aku sudah pernah bilang kalau setiap individu punya kebiasaan tertentu saat
mereka berusaha menyembunyikan keresahan mereka. Semakin terlatih, sadar, atau
lama mereka terpapar, maka akan menjadi semakin halus bahasa non-verbalnya.”
Ucapnya pelan, walau sebenarnya ia tidak perlu benar-benar memelankan suaranya
karena tempat duduk yang ia pilih sepi dari pengunjung lain, entah ia sengaja
atau tidak.
“Dan
tahu tidak, aku tahu kamu sudah menarik nafas panjang beberapa kali. Aku juga
tahu kalau sebenarnya diam-diam kamu mencengkeram tanganmu sendiri. Sekilas
memang seperti orang kedinginan, mungkin kamu memang kedinginan, tapi kurasa
bukan sekedar itu. Kamu juga sengaja membiarkan kukumu panjang kan? Segitunya
kah kamu berharap untuk bisa menyakiti dirimu sendiri?”
Belum selesai, ia
kemudian meraih tangan kiriku kemudian menyingsingkan lengan baju bagian itu.
“Kan, sudah kuduga kamu menggambar beginian lagi di tanganmu. Pakai apa ini?
Spidol? Kamu nggak berusaha menyembunyikan luka sayat atau apapun itu kan?” Ia
tampak mengamati gambaran di tanganku. “Dan ini…”
“Iya,
aku menggigitnya tadi.”
“Kenapa?”
ia memeriksa lenganku satunya sebelum mengembalikan kedua lengan bajuku seperti
semula.
Sudah
kuduga kalau bersamanya pasti ketahuan juga akhirnya. Kadang menyebalkan juga
kalau dia bisa tahu semudah itu, seolah-olah aku tidak akan pernah bisa
menyembunyikan apapun dari orang-orang semacam dia. Tidak dengan akting yang
pas-pasan. Seperti dulu saat kami pertama kali bertemu.
“Mau
cerita? Tidak juga tidak apa-apa.”
Aku
terdiam sejenak, menghela nafas. Mungkin tidak ada salahnya kalau aku cerita.
“Se-…”
Baru saja membuka mulut, tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan pesanan
kami.
“Ini
pesanannya.” Ucap sang pelayan sambil menaruh dan menyebutkan menu apa saja
yang kami pesan. “Terimakasih.” balasku
Aku
mengambil minuman pesananku. Menyeruputnya perlahan. “Mungkin sebaiknya
dilanjut setelah selesai makan.” Kataku yang disusul isyarat tanda setuju dari
Elin.
…
Usai
makan, Alma mulai menceritakan semua kegundahannya. Tentang bagaimana ia
menemukan temannya berusaha mengakhiri hidup. Tampaknya ia merasa terbebani
dengan segala apa yang menimpanya.
“Dia.. errgghh..
entahlah, aku hanya tidak mengerti diriku sendiri. Kadang aku hanya kesal
karena orang suka bersikap sok tegar dan berusaha melakukan semuanya sendirian,
tapi aku juga kesal jika mereka terlalu banyak mengandalkanku. Aku tahu aku
aneh, tapi aku hanya kesal karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk
membantu mereka.” Ungkapnya sambil meremas pergelangan tangannya.
“Hmm..
padahal kamu sendiri sok tegar.” Aku menyeruput sisa es jeruk pesananku.
“Sebentar, jadi, kamu tahu kondisinya karena ia memberitahumu sendiri?”
Alma
mengangguk. “Aku bersyukur percobaannya gagal, tapi..” Ia menggigit bibirnya.
“Dan
kau berusaha menolongnya dengan membawanya ke rumah sakit?”
“Iya.
Kupikir itu satu-satunya yang bisa kulakukan.”
“Jangkauan perspeksimu terlalu luas sampai kau
lupa milikmu sendiri, aku jadi tak habis pikir.” Kataku, sempat terkekeh. “Kau
sudah melakukan hal yang baik. Maksudku, siapa yang bakal mengira orang yang
baru berkenalan bisa membantu setulus itu, kan? Memangnya apa yang membuatmu
tidak puas? Kamu sudah melakukan hal yang benar, Al.”
Alma
tampak merenung mencari jawaban. “Entahlah. Mungkin aku hanya sedih karena
tidak menyadarinya sejak awal. Aku memberitahunya, Lin, aku meberitahunya kalau
aku.. punya sisi gelap itu juga. Sisi yang sangat gelap walau tidak sampai
mengakhiri hidup.”
Ia membuang pandangannya.
“Mungkin karena aku terlalu pengecut.”
“Tidak
mengakhiri hidup pun kadang-kadang kau masih suka menganiaya dirimu sendiri,
apa bedanya coba.” Timpalku.
“Apa
kau tahu kalau dia punya kecenderungan itu?” tanyaku kemudian.
Alma
menggeleng. “Kami jarang bertemu, tapi entah kenapa aku tahu kalau dia mungkin
memiliki masalah besar jika ia sampai bertanya apa aku pernah berusaha
mengakhiri hidup. Jadi, aku hanya memberitahunya bahwa ia bisa mengatakan
apapun padaku atau menghubungiku kapanpun jika ia membutuhkan. Aku tidak ingin
dia punya ide seperti itu, tapi dia malah…”
“Dia
sudah melakukannya, kan? Usahanya gagal dan ia menghubungimu pada akhirnya
karena ia percaya padamu. Aku masih tidak mengerti kenapa itu membuatmu merasa
buruk?”
Gadis
itu tampak menghela nafas panjang. “Mungkin aku hanya ingin hal-hal itu tidak
sampai terjadi pada orang lain. Katakan, Lin, menurutmu bagaimana caraku untuk
bisa mencegah hal serupa terjadi lagi?” Alma mencoba menahan emosinya. Ah, aku
tidak tahan dengan tatapannya yang berkaca-kaca seperti itu.
“Hatimu itu terlalu
lembut meski sudah patah berulang kali ya.” Ucapku. Coba saja di dunia ini
banyak manusia sepertimu, manusia yang benar-benar tulus peduli akan sesamanya.
“Maksudmu?”
“Berhentilah
berusaha memikul nasib dunia ataupun orang lain. Berhenti menyalahkan dirimu
sendiri. Setiap orang memikul takdir, nasib, dan keputusannya masing-masing.
Kalau ada hal buruk menimpa orang lain, itu bukan salahmu. Memang itu yang
sudah sepantasnya terjadi.”
“Tapi,
Lin, itu semua harusnya bisa dicegah. Bisa dicegah kalau saja aku lebih peka.
Kalau saja aku bisa mencegahnya dan meringankan semua bebannya.”
“Dengar,
aku tahu kamu merasa ingin mengoreksi dunia dengan cara terjun ke dalam lembah
itu dan memikul semua bebannya. Tapi bukan begitu caranya, Al.” Alma menunduk.
“Tetaplah
peduli.” Ucapku, sambil menepuk pundaknya. “Sebagai orang yang pernah mengalami
masa-masa kelam dan keluar darinya, kau bisa menunjukkan pada orang lain jalan
keluar yang kau tempuh. Kamu bisa menunjukkan pada mereka kalau kamupun pernah
berada disana. Jadilah lentera yang menuntun orang-orang yang sedang jatuh
untuk bangkit. Namun saat kau merasa lelah dan cahayamu mulai padam,
istirahatlah sejenak, carilah lentera lain yang dapat membuat nyalamu terang
kembali.”
Aku
memegang lengan kirinya, “Tidak seperti ini.” Kataku. “Mengerti maksudku?”
Ia
masih menunduk walau bibirnya mulai tersenyum. “Kuharap aku bisa sepertimu.”
“Hah?
Kenapa?” tanyaku tak habis pikir lagi, tapi dia hanya diam. “Kamu itu kuat,
tahu. Kalau aku jadi kamu dengan masa lalu yang penuh.. errmm.. katakanlah
ekstrim, aku tidak yakin aku masih kuat hidup hingga saat ini. Bahkan, aku
yakin aku sudah memutuskan untuk lari dari mereka. Dan sekarang pun kamu.. kamu
malah masih bisa menyayangi mereka sampai mereka berubah, kamu masih bisa
peduli pada orang lain walau orang itu baru kamu kenal, kamu tidak pernah jatuh
pada godaan untuk mengakhiri hidup. Menurutku itu hebat dan bukan pengecut.”
Aku
melihat embun yang siap menetes di pelupuk mata gadis itu. “Eh, aku nggak ngelarang kamu nangis, tapi jangan nangis disini ya. Nanti aku disangka nge-bully
kamu. Haha.” Kataku menenangkan. “Gimana kalau kita bayar dulu habis itu
pulang?” Ajakku.
“Baiklah.”
Balas gadis itu sembari menyeka air matanya yang nyaris menetes.
…
Alma
melambaikan tangannya sebelum mengendarai motornya untuk pergi ke arah yang
berbeda. Elin membalas lambaian tangan itu kemudian bergegas memakai sarung
tangan motornya. Gadis itu tampak memperhatikan kedua tangannya sambil
merenung. Dengan perlahan dan hati-hati, ia menyingsingkan mansetnya sedikit
sambil mengintip apa yang tersembunyi di dalamnya.
“Yap,
aku belum sekuat kamu, Al.” Ucap gadis itu tersenyum melihat tiga bekas sayatan
di pergelangan tangannya. “Tapi aku pun bertekad untuk bisa menjadi lentera
yang menerangi jalan orang lain.” Ia menutup kembali pergelangan tangannya dan
bergegas pulang.
Peduli sama orang boleh,,,tapi tidak seharus ny beban orang lain menjadi beban diri sendiri,,,menolong itu perlu atau wajib,,,tapi jangan sampai masalah orang yg kita tolong nambahin beban kita sendiri...
ReplyDeletehalo.. salam kenal!^^ terimakasih sudah berkunjung di blog ini ya <3
Deleteiya, itu benar sekali kak ^w^)/ kita boleh peduli ke orang lain, tapi kita juga perlu peduli terhadap diri sendiri. menjadi egois itu kadang-kadang perlu ^w^)/
Iya kak saya setuju itu,,,
ReplyDelete