apapun yang bisa author tulis untuk readers.

Tuesday, May 26, 2020

Menjadi Lentera

Menjadi Lentera

by: Gita Ardeny
Source picture : pinterest


         Hari ini udara terasa dingin sekali, lebih dingin dari biasanya. Aku memutuskan untuk memakai jaket tebal ke kampus. Mungkin inilah puncak musim kemarau. Kudengar suhu udara akan menjadi lebih dingin saat memasuki puncak kemarau.
            “Alma!” panggil seseorang dari jauh. “Udah selesai kuliahnya?” tanyanya sambil mendekat ke arahku.
        Aku mengangguk sambil mengamati sesosok gadis yang seolah memiliki seluruh waktu luang yang ada di dunia. “Gila ya, kamu betah sekali di kampus.” Kataku tak habis pikir. Pasalnya ia adalah seorang mahasiswi jurusan Psikologi yang sudah menyelesaikan seluruh rangkaian ujian dan tugas akhirnya. Dengan kata lain, ia sudah menyelesaikan kegiatan akademiknya. Harusnya ia sudah bisa mendaftar wisuda sejak beberapa bulan yang lalu, mengikuti gelombang pertama tahun ini. Namun entah ada hal apa lagi yang perlu ia urus hingga membuatnya menunda pendaftaran wisuda.
            “Soalnya ada keperluan. Kalau nggak ada mah udah pulang.”
            “Pulang ke sisi Tuhan?” Celetukku tak tanggung-tanggung.
            “Dih, didoain mati dong sama ini bocah. Kamu mau aku mati duluan?” tanyanya tersenyum. “Nggak sedih nih aku tinggalin?”
            Rasanya ingin sekali bilang ‘iya’ kalau melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu. Tapi orang waras mana yang bakal bilang itu ke sahabatnya sendiri. Bercanda pun ada batasnya, kan? Aku menghentikan langkahku sambil menghela nafas panjang.
            Sejurus kemudian, plak! “Bodoh jangan dipelihara dong, please! Mana ada orang yang suka ditinggal mati sahabatnya, hah?”
            Gadis itu tertawa. “Iya, iya.. tapi nggak harus nabok lengan juga kali. Panas nih!”
            “Maaf, refleks.”
            “Refleks gelut?” balasnya terkekeh. “Atau refleks senggol bacok?”
            “Bodo amat, Lin!” Aku mencubit ringan lengannya kali ini. “Elin, si Jeng Kelin!” imbuhku menyindir.
            Elin mengernyitkan dahinya. “Padahal yang didoain mati tadi aku, kenapa jadi aku yang nge-jengkelin?” balasnya, masih dengan senyum dan tawa yang sama.
            “Ah, terserahlah.” Kataku mengalah. “Ngomong-ngomong, mau makan dimana? Jangan ayam lagi lah, bosan.”
            “Makan di Sambel Uleg mau nggak?”
            “Mana tuh?”
            “Dekat warung makannya Pak Haji. Enak disitu, ada menu ikan juga kok kalau kamu bosan ayam.” Jelasnya singkat.
            “Oke deh.”
            Akhirnya kami memutuskan untuk makan di Sambel Uleg. Sampai sana, segera saja kami mencari tempat duduk kosong lalu memesan makanan.
            “Baik mbak, pesanannya mohon ditunggu ya.” Ucap sang Pelayan dengan ramah.
            Sejenak kemudian Elin tampak membuka hp-nya, mengetik sesuatu. “Maaf ya, sebentar.” Ucapnya. Sepertinya ia sedang membalas chat temannya atau apa.
            “Sudah.” Ucapnya lagi, kali ini sambil menatap lekat. “Jadi, kenapa lagi sekarang?”
            “Kenapa gimana maksudnya?” tanyaku.
            “Kamu.”
            Aku mengernyitkan dahiku. “Maksudmu?”
            Elin menghela nafas sambil mengulurkan tangannya seperti hendak berjabat tangan. Meski agak ragu, aku pun menjabat tangannya. “Ini ngapain ya, ngomong-ngomong?”
             “Kamu ingat, kan, kalau kamu menjabat tanganku artinya kamu sepakat kalau kamu harus berkata jujur?” tanyanya.
            “Umm…”
            “Sepertinya aku sudah pernah bilang kalau setiap individu punya kebiasaan tertentu saat mereka berusaha menyembunyikan keresahan mereka. Semakin terlatih, sadar, atau lama mereka terpapar, maka akan menjadi semakin halus bahasa non-verbalnya.” Ucapnya pelan, walau sebenarnya ia tidak perlu benar-benar memelankan suaranya karena tempat duduk yang ia pilih sepi dari pengunjung lain, entah ia sengaja atau tidak.
            “Dan tahu tidak, aku tahu kamu sudah menarik nafas panjang beberapa kali. Aku juga tahu kalau sebenarnya diam-diam kamu mencengkeram tanganmu sendiri. Sekilas memang seperti orang kedinginan, mungkin kamu memang kedinginan, tapi kurasa bukan sekedar itu. Kamu juga sengaja membiarkan kukumu panjang kan? Segitunya kah kamu berharap untuk bisa menyakiti dirimu sendiri?”
Belum selesai, ia kemudian meraih tangan kiriku kemudian menyingsingkan lengan baju bagian itu. “Kan, sudah kuduga kamu menggambar beginian lagi di tanganmu. Pakai apa ini? Spidol? Kamu nggak berusaha menyembunyikan luka sayat atau apapun itu kan?” Ia tampak mengamati gambaran di tanganku. “Dan ini…”
            “Iya, aku menggigitnya tadi.”
            “Kenapa?” ia memeriksa lenganku satunya sebelum mengembalikan kedua lengan bajuku seperti semula.
            Sudah kuduga kalau bersamanya pasti ketahuan juga akhirnya. Kadang menyebalkan juga kalau dia bisa tahu semudah itu, seolah-olah aku tidak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari orang-orang semacam dia. Tidak dengan akting yang pas-pasan. Seperti dulu saat kami pertama kali bertemu.
            “Mau cerita? Tidak juga tidak apa-apa.”
            Aku terdiam sejenak, menghela nafas. Mungkin tidak ada salahnya kalau aku cerita.
            “Se-…” Baru saja membuka mulut, tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan pesanan kami.
            “Ini pesanannya.” Ucap sang pelayan sambil menaruh dan menyebutkan menu apa saja yang kami pesan. “Terimakasih.” balasku
            Aku mengambil minuman pesananku. Menyeruputnya perlahan. “Mungkin sebaiknya dilanjut setelah selesai makan.” Kataku yang disusul isyarat tanda setuju dari Elin.
            Usai makan, Alma mulai menceritakan semua kegundahannya. Tentang bagaimana ia menemukan temannya berusaha mengakhiri hidup. Tampaknya ia merasa terbebani dengan segala apa yang menimpanya.           
“Dia.. errgghh.. entahlah, aku hanya tidak mengerti diriku sendiri. Kadang aku hanya kesal karena orang suka bersikap sok tegar dan berusaha melakukan semuanya sendirian, tapi aku juga kesal jika mereka terlalu banyak mengandalkanku. Aku tahu aku aneh, tapi aku hanya kesal karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu mereka.” Ungkapnya sambil meremas pergelangan tangannya.
            “Hmm.. padahal kamu sendiri sok tegar.” Aku menyeruput sisa es jeruk pesananku. “Sebentar, jadi, kamu tahu kondisinya karena ia memberitahumu sendiri?”
            Alma mengangguk. “Aku bersyukur percobaannya gagal, tapi..” Ia menggigit bibirnya.
            “Dan kau berusaha menolongnya dengan membawanya ke rumah sakit?”
            “Iya. Kupikir itu satu-satunya yang bisa kulakukan.”
             “Jangkauan perspeksimu terlalu luas sampai kau lupa milikmu sendiri, aku jadi tak habis pikir.” Kataku, sempat terkekeh. “Kau sudah melakukan hal yang baik. Maksudku, siapa yang bakal mengira orang yang baru berkenalan bisa membantu setulus itu, kan? Memangnya apa yang membuatmu tidak puas? Kamu sudah melakukan hal yang benar, Al.”
            Alma tampak merenung mencari jawaban. “Entahlah. Mungkin aku hanya sedih karena tidak menyadarinya sejak awal. Aku memberitahunya, Lin, aku meberitahunya kalau aku.. punya sisi gelap itu juga. Sisi yang sangat gelap walau tidak sampai mengakhiri hidup.”
Ia membuang pandangannya. “Mungkin karena aku terlalu pengecut.”
            “Tidak mengakhiri hidup pun kadang-kadang kau masih suka menganiaya dirimu sendiri, apa bedanya coba.” Timpalku.
            “Apa kau tahu kalau dia punya kecenderungan itu?” tanyaku kemudian.
            Alma menggeleng. “Kami jarang bertemu, tapi entah kenapa aku tahu kalau dia mungkin memiliki masalah besar jika ia sampai bertanya apa aku pernah berusaha mengakhiri hidup. Jadi, aku hanya memberitahunya bahwa ia bisa mengatakan apapun padaku atau menghubungiku kapanpun jika ia membutuhkan. Aku tidak ingin dia punya ide seperti itu, tapi dia malah…”
            “Dia sudah melakukannya, kan? Usahanya gagal dan ia menghubungimu pada akhirnya karena ia percaya padamu. Aku masih tidak mengerti kenapa itu membuatmu merasa buruk?”
            Gadis itu tampak menghela nafas panjang. “Mungkin aku hanya ingin hal-hal itu tidak sampai terjadi pada orang lain. Katakan, Lin, menurutmu bagaimana caraku untuk bisa mencegah hal serupa terjadi lagi?” Alma mencoba menahan emosinya. Ah, aku tidak tahan dengan tatapannya yang berkaca-kaca seperti itu.
“Hatimu itu terlalu lembut meski sudah patah berulang kali ya.” Ucapku. Coba saja di dunia ini banyak manusia sepertimu, manusia yang benar-benar tulus peduli akan sesamanya.
         “Maksudmu?”
      “Berhentilah berusaha memikul nasib dunia ataupun orang lain. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Setiap orang memikul takdir, nasib, dan keputusannya masing-masing. Kalau ada hal buruk menimpa orang lain, itu bukan salahmu. Memang itu yang sudah sepantasnya terjadi.”
       “Tapi, Lin, itu semua harusnya bisa dicegah. Bisa dicegah kalau saja aku lebih peka. Kalau saja aku bisa mencegahnya dan meringankan semua bebannya.”
       “Dengar, aku tahu kamu merasa ingin mengoreksi dunia dengan cara terjun ke dalam lembah itu dan memikul semua bebannya. Tapi bukan begitu caranya, Al.” Alma menunduk.
       “Tetaplah peduli.” Ucapku, sambil menepuk pundaknya. “Sebagai orang yang pernah mengalami masa-masa kelam dan keluar darinya, kau bisa menunjukkan pada orang lain jalan keluar yang kau tempuh. Kamu bisa menunjukkan pada mereka kalau kamupun pernah berada disana. Jadilah lentera yang menuntun orang-orang yang sedang jatuh untuk bangkit. Namun saat kau merasa lelah dan cahayamu mulai padam, istirahatlah sejenak, carilah lentera lain yang dapat membuat nyalamu terang kembali.”
            Aku memegang lengan kirinya, “Tidak seperti ini.” Kataku. “Mengerti maksudku?”
            Ia masih menunduk walau bibirnya mulai tersenyum. “Kuharap aku bisa sepertimu.”
       “Hah? Kenapa?” tanyaku tak habis pikir lagi, tapi dia hanya diam. “Kamu itu kuat, tahu. Kalau aku jadi kamu dengan masa lalu yang penuh.. errmm.. katakanlah ekstrim, aku tidak yakin aku masih kuat hidup hingga saat ini. Bahkan, aku yakin aku sudah memutuskan untuk lari dari mereka. Dan sekarang pun kamu.. kamu malah masih bisa menyayangi mereka sampai mereka berubah, kamu masih bisa peduli pada orang lain walau orang itu baru kamu kenal, kamu tidak pernah jatuh pada godaan untuk mengakhiri hidup. Menurutku itu hebat dan bukan pengecut.”
       Aku melihat embun yang siap menetes di pelupuk mata gadis itu. “Eh, aku nggak ngelarang kamu nangis, tapi jangan nangis disini ya. Nanti aku disangka nge-bully kamu. Haha.” Kataku menenangkan. “Gimana kalau kita bayar dulu habis itu pulang?” Ajakku.
            “Baiklah.” Balas gadis itu sembari menyeka air matanya yang nyaris menetes.
            Alma melambaikan tangannya sebelum mengendarai motornya untuk pergi ke arah yang berbeda. Elin membalas lambaian tangan itu kemudian bergegas memakai sarung tangan motornya. Gadis itu tampak memperhatikan kedua tangannya sambil merenung. Dengan perlahan dan hati-hati, ia menyingsingkan mansetnya sedikit sambil mengintip apa yang tersembunyi di dalamnya.
            “Yap, aku belum sekuat kamu, Al.” Ucap gadis itu tersenyum melihat tiga bekas sayatan di pergelangan tangannya. “Tapi aku pun bertekad untuk bisa menjadi lentera yang menerangi jalan orang lain.” Ia menutup kembali pergelangan tangannya dan bergegas pulang.

3 comments:

  1. Peduli sama orang boleh,,,tapi tidak seharus ny beban orang lain menjadi beban diri sendiri,,,menolong itu perlu atau wajib,,,tapi jangan sampai masalah orang yg kita tolong nambahin beban kita sendiri...

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo.. salam kenal!^^ terimakasih sudah berkunjung di blog ini ya <3
      iya, itu benar sekali kak ^w^)/ kita boleh peduli ke orang lain, tapi kita juga perlu peduli terhadap diri sendiri. menjadi egois itu kadang-kadang perlu ^w^)/

      Delete

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Popular Posts

Quotes Of The Day

Don't Forget To Be Grateful

Mind to Visit?

My Alternate: http://walk-path.blogspot.com/ Friends: http://a-story-to-read.blogspot.com/ http://13thheavenlyparadise.wordpress.com/

About

I'm just an ordinary person who happened to love writting. And here as what the description blog says (although you cannot see it unless you block it) I'll write anything I could regardless whether or not it is important. So, I'll be happy if it can entertain you or perhaps becoming useful for some sort, well somehow and I'm sorry if it couldn't brighten your day. Nevertheless, I also want to thank you for visiting this blog. Thank you very much!


Copyright © From Authors To Readers | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com